in

Harmoko, Sosok Sipil Berpengaruh yang Memuluskan Langkah Soeharto Sebagai Penguasa

Keberadaan Partai Golkar di masa pemerintahan Orde Baru, ibarat raksasa yang tak terkalahkan oleh partai pesaing lainnya. Dilansir dari tirto.id, dia adalah masyarakat dari kalangan sipil yang pertama menjabat sebagai Ketua Umum Golkar. Padahal, partai berlogo pohon beringin itu selalu diketuai oleh mereka yang berasal dari kalangan militer.

Merintis karir sebagai wartawan, Harmoko secara perlahan menapaki karir di dunia jurnalistisk hingga mengantarkannya ke kursi empuk Menteri Penerangan Indonesia di masa kekuasaan Orde Baru. Meski sempat dikeluarkan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pasca BPS bubar, ia akhirnya dipercaya menangani urusan komunikasi publik dan politik yang untuk mempropagandakan program-program pemerintah. Seperti apa sepak terjangnya mendukung Soeharto sebagai penguasa?

Sempat menjadi wartawan yang pro Soekarno hingga pers militer

Sempat menjadi wartawan yang didukung militer Indonesia [sumber gambar]
Pria kelahiran Nganjuk, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, 7 Februari 1939 ini, mengawali karirnya sebagai wartawan di harian Merdeka (1963-1964). Sumber dari tirto.id mengatakan, ia sebelumnya pernah tergabung di Himpunan Budaya Surakarta dan mengikuti pendidikan jurnalistik. Pada 1 September 1964, ia sempat menjadi wartawan Badan Pendukung Soekarno (BPS) yang bertujuan untuk melawan gerakan komunis dan tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sayang, dirinya kemudian dikeluarkan dari organisasi jurnalistik tersebut setelah BPS bubar. Tak lama, Harmoko pun mencoba merapat menjadi wartawan yang didukung oleh militer.

Sukses mendirikan koran sendiri dan mulai dilirik oleh Soeharto

Harmoko saat bersama kabinet pemerintahan Soeharto [sumber gambar]
Karirnya mulai terlihat tatkala Harmoko menjadi wartawan Harian Angkatan Bersenjata pada 1964 yang didukung penuh oleh militer. Saat pecah peristiwa G30S/PKI, harian tempatnya bernaung itulah satu-satunya yang terbit dan menjadi rujukan utama berita penumpasan Partai Komunis Indonesia. Dilansir dari tirto.id, kiprahnya sebagai jurnalis melesat naik pada 16 April 1970 setelah ia mendirikan Pos Kota sebagai pemimpin redaksi. Dirinya juga kembali aktif di dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang saat itu pro terhadap pemerintah. Tak salah bila Soeharto kemudian melirik dirinya. Di titik inilah, Harmoko yang datang dari kalangan sipil mulai masuk ke dalam lingkaran penguasa Orde baru.

Dikenal dengan keahliannya berkomunikasi yang menyiarkan propaganda pemerintah

Peran Harmoko yang sukses menjadikan Soeharto awet menjadi penguasa Orde Baru [sumber gambar]
Karena keahliannya berkomunikasi, Harmoko kemudian didaulat menjadi Menteri Penerangan menggantikan Ali Murtopo. Sumber dari tirto.id menuliskan, mantan jurnalis itu menduduki jabatan tersebut selama 3 periode selama 14 tahun mulai dari 19 Maret 1983 sampai 16 Maret 1997. Oleh Soeharto, ia dianggap cocok mengemban tugas tersebut karena dinilai mampu menerjemahkan gagasan penguasa Orde Baru kepada publik dengan jelas. Pendek kata, ia telah menjelma menjadi maestro dalam komunikasi publik dan politik.

Sosok penting di balik kekuatan Golkar yang memuluskan langkah Soeharto

Harmoko dikenal karena komunikasinya yang luwes dan egaliter [sumber gambar]
Dengan gaya komunikasi yang khas, Harmoko kerap turun langsung berdialog pada masyarakat. Tak lupa, kamera dari TVRI yang berada di bawah Menteri Penerangan ikut menyoroti dirinya. Dilansir dari tirto.id, Harmoko yang juga menjadi Ketua Golongan Karya sejak 1993 hingga 1998, kerap berkampanye di seluruh Indonesia. Tentu saja, ia memobilisasi massa agar mendukung pemerintahan Soeharto dengan gaya komunikasinya yang egaliter dan membumi. Atas loyalitasnya pada kekuasaan Orde Baru inilah, dirinya juga menjadi orang sipil pertama yang berhasil menjadi Ketua Umum Partai Golkar.

Namanya tenggelam setelah era reformasi meruntuhkan kekuasaan Orde Baru

Namanya tenggelam seiring dengan runtuhnya pemerintahan Soeharto [sumber gambar]
Pada 1997, Harmoko melalui Golkar-nya sanggup meraup 84.187.907 suara atau menguasai 74,51% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Sumber dari tirto.id menyebutkan, ia begitu yakin mendorong masyarakat agar kembali memilih Soeharto sebagai pemimpin. Sayang, gelombang reformasi yang begitu dahsyat menghancurkan strateginya. Soeharto pun lengser dari kursi kepresidenan. Nama Harmoko pun tenggelam seketika. Tirto.id juga menuliskan, ia sempat mendirikan Partai Kerakyatan Nasional (PKN) pada April 2008 lalu. Sayang, ambisi politiknya harus pupus karena organisasinya gagal melewati verifikasi. Nama Harmoko pun tak terdengar lagi di gelanggang reformasi.

Pasang surut di dunia politik yang tejadi di masa lalu maupun saat ini, merupakan pemandangan biasa yang kerap terjadi. Hal ini juga yang dirasakan oleh Harmoko. Berjaya di Orde Baru, namun tergulung dan padam saat pemerintahan beralih ke era reformasi. Senada dengan tembang milik Noah, “tak ada yang abadi“, kekuasaan pun tak akan selamanya digenggam. Suatu saat pasti lapuk dan digantikan oleh yang lain.

Written by Dany

Menyukai dunia teknologi dan fenomena kultur digital pada masyarakat modern. Seorang SEO enthusiast, mendalami dunia blogging dan digital marketing. Hobi di bidang desain grafis dan membaca buku.

Leave a Reply

5 Hal Mengharukan di Balik Pernikahan Bak Negeri Dongeng Maia Estianty dan Irwan Mussry

Akhirnya Terkuak Alasan Ronaldo Pindah dari Real Madrid, Benarkah Lantaran Presiden Klub?