Tak dipungkiri, keberadaan bom atom dan sejenisnya kerap membuat cemas penduduk di seluruh dunia. Bayangan akan kengerian pada kasus yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki Jepang di masa silam, terus membekas. Peristiwa itupun diabadikan sebagai salah satu tragedi kemanusiaan paling parah sepanjang berlangsungnya Perang Dunia ke-2.
Amerika Serikat pada saat itu, menggunakan sebuah bom atom yang dibuat dengan kode Fat Man. Dilihat dari namanya, “laki-laki gendut” ini memang memiliki bentuk yang sangat besar, bulat dan terlihat gemuk. Dijatuhkan pada tanggal 9 Agustus 1945 di kota Nagasaki, Fat Man sedikit banyak memberikan “jalan” beberapa langkah bagi Indonesia untuk meraih kemerdekaannya. Apa yang menjadi rahasia Fat Man begitu digdaya sebagai penghancur?
Gunakan teknologi yang modern pada masanya
Dengan total berat mencapai mencapai 10,300 Pounds atau sekitar 4700 Kg dan panjang mencapai 128 inchi atau sekitar 3.3 meter, Fat Man sanggup memuntahkan ledakan yang begitu dahsyat. Hal ini berkat teknologi yang dihasilkan dari Plutonium yang ditempatkan dibagian dalam struktur Bom Atom dengan berat mencapai 6.2 kilograms (14 lbs). Daya hancurnya pun setara dengan 21 kiloton TNT atau 88 terajoules.
Penamaan bom yang kontroversial
Penaamaan “Fat Man” yang lucu dan terkesan sembarangan, ternyata diambil sebuah tokoh bernama Sydney Greenstreet dalam novel The Meltese Falcon oleh Robert Serber. Perdana Menteri Inggris era Perang Dunia II, Sir Winston Churcil, bahkan disebut-sebut ikut terlibat dalam penamaan bom generasi ketiga itu. Yang jelas, nama Fat Man sendiri merupakan sebuah kode yang sangat dirahasiakan agar tak mudah dideteksi oleh musuh.
Kota Nagasaki sebenarnya bukanlah target pertama
Saat diciptakan, Fat Man sebenarnya hendak dijatuhkan di Kota Kokura, bukan Nagasaki. Wilayah tersebut dipilih karena merupakan basis industri penyuplai alat militer terbesar bagi Jepang untuk berperang. Angkatan Udara Amerika Serikat pada awalnya menargetkan tiga kota, yaitu Hiroshima, Kokura dan Nagasaki. Selain Hiroshima, Kokura dan Nagasaki adalah opsi cadangan alias pilihan kedua. Beruntung, cuaca yang buruk di atas kota Kokura, membuat pilot Paman Sam akhirnya memutuskan untuk membom Nagasaki.
Lahir berkat tangan dingin ilmuwan pada Proyek Manhattan
Dalam penelitian rahasia itu, tak kurang dari $ 2 miliar dan 130 ribu pekerja dikumpulkan guna menciptakan sebuah bom berdaya ledak dahsyat. Jenderal Leslie Groves adalah Insinyur Senior Angkatan Darat AS yang bertanggung jawab atas proyek tersebut antara tahun 1942 dan 1946. Isotop uranium yang sangat langka pada saat itu, ikut diteliti bersamaan dengan zat plutonium sebagai hulu ledak bom. Proyek bersandi “Manhattan” ini akhirnya sukes membuat bom atom “Little Boy” dan “Fat Man ” yang legendaris.
Sukses membuat Jepang bertekuk lutut di kancah Perang Dunia II
Dalam serangan yan kedua kalinya-dan terakhir dalam sejarah PD II, Fat Man diangkut oleh pesawat pengebom B-29 Pasukan Udara Angkatan Darat Amerika Serikat yang bernama Bockscar. Dipiloti oleh komandan Skuadron Bombardemen 393d, Mayor Charles W. Sweeney, bom atom tersebut berhasil meluluhlantakan kota Nagasaki. Dilansir dari tirto.id, peristiwa itu memakan korban 40.000 penduduk. 40.000 lain mati usai ledakan terjadi, tak lain akibat efek radiasi setelah ledakan.
Peperangan sejatinya hanya menimbulkan luka dan trauma pada kehidupan manusia. Terlebih jika bom sekelas atom dan nuklir turut dipergunakan. Tentu akan menimbulkan malapetaka dan tragedi bagi kemanusiaan. Secanggih dan sehebat apapun sebuah teknologi militer, tak akan berarti jika hanya untuk membunuh mereka yang tak bersalah.