Seringkali kita menganggap sebuah kesuksesan yang didapat seseorang itu hanya keberuntungan belaka. Seakan hanya orang-orang yang beruntung atau bejo saja yang bisa sukses dan kaya raya. Padahal kalau kita menarik garis ke belakang, di balik kesuksesan seseorang ada perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa. Bahkan apa yang berhasil didapat seseorang saat ini tak lepas dari jatuh bangunnya menghadapi kerasnya kehidupan. Seperti kisah hidup Li Ka-Shing, meski kini ia dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Asia ternyata dia dulunya saat masih remaja punya kisah kemalagannya sendiri.
Li Ka-Shing, miliarder asal Hong Kong ini punya kekayaan yang diperkirakan mencapai 20,1 miliar dolar. Ia pun masuk dalam jajaran orang terkaya di dunia dan pernah dinyatakan sebagai orang terkaya di Asia. Tapi siapa sangka ternyata dulunya ia bekerja sebagai buruh pabrik. Tak hanya itu, dulu bahkan ia terpaksa putus sekolah. Tapi kok bisa ya ia bisa jadi sesukses sekarang ini dengan kekayaan mencapai puluhan miliar dolar? Selengkapnya, yuk kita ikuti kisah hidupnya yang menarik dan super inspiratif berikut ini.
1. Li Ka-Shing Sudah Jadi Anak Yatim Saat Usianya Baru 14 Tahun
Pria kelahiran Chaozhou, GUangdong, Cina tanggal 13 Juni 1982 ini bersama keluarganya dulu harus mengungsi ke Hong Kong karena saat itu penjajah Jepang sering menjatuhkan bom di tanah kelahirannya, Chaouzhou. Ayah Li dulunya bekerja sebagai kepala sekolah. Namun, saat Li berusia 14 tahun, ayahnya meninggal dunia karena penyakit tuberkulosis (TBC). Mau tak mau Li jadi tulang punggung keluarga. Dia terpaksa putus sekolah dan bekerja di sebuah pabrik plastik. Saking miskinnya keluarganya saat itu, Li sampai harus menjual baju-baju mendiang ayahnya untuk bisa dapat uang untuk membeli makanan.
Jadi ketika anak-anak remaja seusianya saat itu menghabiskan waktu di sekolah atau bermain, Li sudah harus banting tulang menghabiskan waktu 16 jam membuat tali arloji plastik. Tak terbayangkan bagaimana ia harus menghabiskan separuh harinya untuk jadi buruh pabrik seperti itu, ya.
2. Mendirikan Perusahaan Sendiri Saat Baru Berusia 22 Tahun
Setelah bertahun-tahun bekerja sebagai buruh pabrik, Li memutuskan untuk berhenti bekerja. Di usia 22 tahun, Li mendirikan sendiri perusahaannya yang fokus membuat mainan plastik. Perusahaan tersebut kemudian beralih membuat bunga plastik karena Li mengetahui kalau bunga-bunga plastik sangat terkenal di Italia. Dan itulah titik balik bisnisnya.
Ia namai perusahaannya Cheung Kong. Li sudah memprediksi dengan tepat bahwa plastik akan jadi industri yang berkembang pesat. Prediksi itu pun ternyata tak meleset. Menariknya lagi meski Li putus sekolah saat masih remaja dan tak punya gelar sarjana, ia seorang pembaca buku yang sangat rajin. Kemampuannya belajar dan giat mempelajari hal-hal baru menjadi salah satu faktor terbesar dalam kesuksesannya sekarang ini. Salah satu buktinya adalah Li mampu menyelesaikan pembukuan tahun pertama perusahaannya sendiri. Dia berhasil melakukannya dengan membaca sendiri buku-buku pelajaran.
3. Li Punya Cara Unik dalam Bernegosiasi dan Membuat Kontrak
Selain ilmu pengetahuan dan pandangan industri, Li menyatakan kalau kunci kesuksesani tu juga ditentukan oleh loyalitas dan reputas. Tahun 2006 dalam sebuah wawancara dengan Forbes, Li punya pernyataan yang menarik terkait caranya bernegosiasi dan membuat kesepakatan. “Setiap kali saya mengatakan ‘ya’ pada seserang, maka kontrak telah dibuat,” paparnya.
Tahun 1956, Li pernah menolak sebuah tawaran yang bisa memberinya profit ekstra sebesar 30 persen sekaligus membuatnya mampu mengembangkan perusahannya karena ia telah membuat kesepatan verbal dengan pembeli lainnya. Loyalitas sangat dijunjung tinggi olehnya. Ia rela kehilangan uang atau keuntungan secara materi demi menjaga loyalitasnya.
4. Sudah Jadi Tulang Punggung Keluarga Sejak Remaja, Li Paham Betul Nilai Sosial dan Sikap Dermawan
Kerasnya tempaan hidup yang ia jalani sejak masih remaja mengajarinya banyak hal. Termasuk tentang nilai sosial dan sikap dermawan. Seperti yang dilansir dari Business Insider, Li pernah mengungkapkan, “Tidak peduli seberapa kuat Anda, jika Anda tidak memiliki hati yang besar, Anda tidak akan berhasil.”
Tahun 1979, Li melebarkan sayapnya ke pengembangan properti. Ia mengakuisisi Hutchison Whampoa setelah membuat kesepakatan dengan HSBC. Jalan baru makin terbuka lebar untuknya. Tak lama kemudian, ia fokus berinvestasi pada fasilitas peti kemas pelabuhan terbaik di sejumlah negara. Li pun juga dikenal sebagai pengembang properti paling top dan perusahaannya telah berhasil memegang kendali 70 persen alat-alat elektronik dan pelabuhan serta telekomunikasi di Hong Kong. Tak cukup sampai di situ saja, Li juga pemegang saham terbesar di Husky Energy, sebuah perusahaan Kanada. Li melebarkan sayapnya ke berbagai industri dan area dan jadi bukti kalau ia tak pernah takut belajar atau mencoba bereksperimen di area atau bidang-bidang baru. Luar biasa sekali, kan?
5. Li Lebih Rela “Membuang” Uangnya untuk Investasi daripada Membeli Hal-Hal Bendawi
Li dikenal sebagai sosok yang sederhana dalam hal penampilan. Salah satu contohnya adalah ia memakai jam tangan elektronik seharga 30 pound sterling atau sekitar 560 ribu rupiah pada tahun 90an. Padahal dengan kekayaan yang luar biasa, bisa saja ia membeli arloji atau barang-barang lainnya yang lebih mahal dengan merek terkenal. Rupanya Li lebih memilih untuk “membuang” uangnya untuk berinvestasi daripada membeli barang-barang bendawi.
Li punya prinsip sendiri dalam membangun perusahaannya, yaitu dengan “no-debt policy”. Artinya perusahaannya dibangun dan dijalankan tanpa terlalu banyak berhutang. Ia bahkan membeli semua real estate-nya dengan modalnya sendiri. Kini, Li juga jadi salah satu investor terbesar Facbook. Baru-baru ini bahkan ia berinvestasi pada sebuah startup yang sedang berusaha membuat protein telur dari sejenis tanaman.
Meski sudah sepuh, Li tampaknya tak menunjukkan tanda akan pensiun atau berhenti berbisnis. Ia masih saja berinovasi dan terus berkarya. Pada tahun 2010, ia mengatakan kepada Forbes, “Kenikmatan yang paling penting bagi saya adalah bekerja keras dan membuat lebih banyak keuntungan.” Bekerja keras sudah jadi kenikmatan sendiri baginya, jadi tak heran kalau ia masih tetap bersinar dan berhasil mengguncang Asia bahkan dunia.