Sosok ibu adalah figur yang memiliki gelar ‘Tuhan di Dunia’. Oleh sebab itu, seorang anak haruslah menghormati dan menyayanginya sampai kapanpun. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Sosok ibu justru yang lebih bisa memperlakukan anak bak Raja.
Mungkin kita bisa mengintip sedikit tentang sosok tangguh bernama Siti Rokayah, seorang ibu yang membesarkan 13 orang anaknya seorang diri. Suaminya meninggal sejak tahun 1976. Sejak saat itu, perempuan kelahiran 1934 tersebut banting tulang demi membesarkan dan mengantarkan semua anaknya pada perguruan tinggi. Usaha Amih rupanya tak sia-sia. Terbukti semua anaknya berhasil menjadi sarjana. Amih selalu menanamkan sikap gotong royong pada semua putra putrinya. Sehingga anak-anak yang lebih dulu sukses, akan membantu biaya adik-adiknya yang masih kuliah dan sekolah. Dari semua perjuangan hebat tersebut, apa yang Amih dapat?
Anak dan menantu tega menggugat ibu
Mungkin kisah menyesakkan Amih bak drama dalam FTV. Namun cobaan tersebut benar-benar harus dilalui oleh lansia 83 tahun tersebut. Tak pernah tersemat di benak Amih bahwa salah satu anaknya bisa tega menggugatnya ke pengadilan.
Adalah anak Amih ke-9, Yani Suryani yang tega melakukan hal yang durjana tersebut. Terlebih, masalah keluarga yang sampai diangkat ke meja hijau adalah perihal utang pitutang. Siapa sangka jika uang senilai puluhan juta berimbas pada tuntutan 1,8 miliar? Kasus tersebut pun sontak membuat hati berbagai pihak teriris, terutama bagi Amih sendiri.
Sebenarnya bukan utang sang ibu
Eep Rusdiana, salah satu anak Amih mengaku kecewa atas gugatan yang dilayangkan oleh kakak kandungnya. Pasalnya, pria 49 tahun tersebut mengetahui dengan pasti jika utang tersebut bukanlah milik Amih. Persoalan tersebut bermula saat Asep Ruhendi, salah satu anak Amih memiliki persoalan utang dengan salah satu bank BUMN sekitar 40 juta. Handoyo Adianto yang merupakan suami dari Yani Suryani pun menawarkan pinjaman untuk melunasi utang tersebut.
Namun dengan satu syarat, SHM tanah dan bangunan milik Siti Rokayah harus dibaliknamakan atas nama Handoyo Adianto. Permintaan tersebut ternyata ditolak. Namun pada akhirnya Handoyo tetap membantu membayarkan utang Asep. Teknis pinjaman tersebut juga tidak dituangkan secara rinci, hanya diketahui oleh pihak keluarga saja. Menurut penuturan Handoyo, utang Asep dibayarkan dengan cara transfer, sisanya disetor langsung oleh Yani. Namun, pada kenyataananya, Handoyo hanya membayarkan Rp21,5 saja, sementara sisanya tak pernah dilunasi. Yang melunasi tetap dari keluarga Amih, dengan bukti setor ke bank.
Persoalan utang piutang sempat mereda, namun meledak tahun 2016
Menurut pernyataan Eep, persoalan utang piutang tersebut sempat mereda. Bahkan, utang sejak tahun 2001 tersebut tidak pernah dibahas. Namun, pada Oktober 2016 lalu, Yani datang dari Jakarta ke Garut. Ia membujuk Amih agar bersedia menandatangi surat pengakuan berutang yang dibuatnya bersama suaminya.
Eep menilai jika ada rekayasa yang dibuat oleh Yani dan suaminya hingga Amih bersedia menandatangani surat pernyataan utang yang jumlahnya 41,5 juta rupiah. Padahal, seperti diketahui bahwa utang Asep hanyala 21,5 juta rupiah. Baik Yani dan Handoyo tetap menegaskan bahwa mereka sudah membayar sisa pinjaman secara tunai.
Amih menandatangani surat pernyataan utang demi melindungi Yani
Sejatinya, Amih merasa kasihan dan khawatir pada keadaan Yani. Sebab, jika Amih menolak menandatangani surah pernyataan berutang tersebut, maka Yani akan diceraikan oleh suami. Bahkan, anak-anak Amih yang lain juga diharuskan tanda tangan sebagai saksi. Niat menolong pada beberapa tahun silam rupanya dimanfaatkan untuk melayangkan gugatan.
Utang sebesar Rp40.274.904 pada tahun 2001 disetarakan dengan harga emas murni pada saat itu yang senilai Rp80,200 per gram. Di pengadilan, pihak dari Yani dan Handoyo pun menuntut kerugian materil nilai emas seberat 501,5 gram. Nilai tersebut dikonversikan dengan harga emas saat ini berarti senilai Rp. 640.352.000, sementara kerugian imateril sebesar Rp. 1,2 Miliar. Total yang dituntut itu kurang lebih sebesar 1,8 miliar.
Meski digugat, Amih tidak merasa tertekan justru anaknya yang tak terlihat di permukaan
Digugat oleh anak kandung dan menantu sendiri memang telak membuat hati Amih remuk. Namun, wanita 83 tahun tersebut mengaku tidak merasa tertekan. Amih yakin jika Allah selalu bersamanya. Jika ada ujian sebesar kapal, maka nikmat Allah itu seluas lautan, demikian yang kerap Amih ungkapkan di depan awak media.
Banyak pihak yang merasa iba pada Amih, bahkan Ketua Bidang Advokasi P2TP2A Kabupaten Garut, Nitta Kusnia Widjaja pun turun tangan mendampingi Amih selaku tergugat. Sebaliknya, Yani Suryani dan sang suami selalu penggugat justru tidak berani hadir dalam persidangan. Selama masa persidangan, Yani hanya diwakili oleh kuasa hukumnya.
Di balik peliknya kasus Amih, sejatinya ada pesan moral yang begitu kuat, yaitu menghargai ibu selaku perempuan yang melahirkan kita harusnya menjadi hal yang mutlak. Seberapapun banyak harta anak, tak akan bisa membayar lunas cinta orang tuanya kelak. Semoga hal serupa tidak menimpa ibu kita.