Indonesia memiliki banyak sekali suku dan budaya yang masing-masing ada kisah dan cerita uniknya sendiri. Salah satu suku yang memiliki keunikan tersendiri adalah Suku Sakai. Sudah pernah dengar soal Suku Sakai? Suku Sakai ini adalah salah satu suku yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidupnya berpindah-pindah di hutan. Sebagai keturunan Minangkabau, suku ini melakukan migrasi ke Tepi Sungai Gasib, hulu Sungai Rokan, di pedalaman Riau pada abad ke-14 lalu.
Suku Sakai sangat bergantung kepada alam, meskipun sebagian dari mereka sudah menerapkan pertanian dan juga berladang. Tapi, bagaimana pun juga alam adalah rumah mereka dan juga tempat mencari penghidupan. Sayangnya, karena kawasan hutan seiring waktu berubah menjadi daerah industri dan usaha, Suku Sakai pun mulai kehilangan kehidupannya.
Suku satu ini juga cukup jarang terdengar namanya, makanya tak banyak yang tahu tentang eksistensi mereka. Lebih jauh tentang Sakai, berikut adalah hal-hal yang mungkin belum kamu ketahui tentang suku unik tersebut.
Suku Sakai Keturunan Langsung Nabi Adam?
Ada banyak simpang siur soal asal-usul Sakai. Konon, kata Sakai merupakan kepanjangan dari Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Artinya mereka hidup di sekitar sungai serta bergantung pada hasil kekayaan sungai untuk bertahan hidup. Ciri-ciri fisik mereka lebih didominasi kulit cokelat yang agak gelap serta rambut yang berombak. Karena mereka tergolong dalam ras Veddoid. Banyak yang meyakini kalau Suku Sakai berasal dari keturunan Pagaruyung, Minangkabau. Mereka hijrah ke Riau berabad-abad lalu.
Tapi ada juga yang berpendapat bahwa Suku Sakai ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung hijrah dari tanah Arab. Mereka terdampar di Sungai Limua lalu hidup di Sungai Tunu. Hanya saja untuk pendapat yang satu ini tidak ada sumber tertulisnya. Ada juga yang menyebutkan kalau Suku Sakai ini berasal dari kelompok ras terbaru yang disebut sebagai Melayu Tua atau Proto-Melayu dan Melayu Muda atau Deutro-Melayu.
Awalnya, Melayu Tua datang pada tahun 2.500-1500 tahun sebelum Masehi. Lalu disusul migrasi dari Melayu Muda. Pada akhirnya, Melayu Tua tersingkir karena kemampuan kelompok Melayu Muda bertahan hidup lebih baik. Kelompok Melayu Tua terdesak ke daerah di pedalaman dan bertemu dengan orang-orang yang berasal dari ras Wedoid dan Austroloid. Nenek moyang orang Sakai dipercaya berasal dari hasil campuran keduanya.
Suku Sakai Memiliki Kepercayaan Akan Antu
Orang Sakai banyak yang memeluk Islam. Tapi di antara mereka ada yang masih memiliki kepercayaan animisme, yakni semacam kepercayaan terhadap kekuatan magis dan makhluk halus. Dalam bahasa mereka, makhluk gaib atau halus ini kerap dipanggil sebagai Antu.
Orang-orang Sakai percaya kalau Antu ini mempunyai kehidupan seperti manusia. Jadi, para Antu dipercaya juga hidup berkelompok dan punya pemukiman sendiri. Menurut kepercayaan masyarakat Sakai tersebut, pusat pemukiman Antu berada di tengah rimba hutan belantara yang tak dijamah manusia.
Cara Hidup Suku Sakai Sangat Bergantung pada Alam
Hidup bergantung pada alam, segala sesuatunya sebisa mungkin dibuat dari semua bahan yang sudah tersedia di alam. Salah satunya adalah Timo. Timo ini merupakan wadah yang dibuat dari kulit kerbau yang dikeringkan. Tapi ada juga yang beberapa bagiannya dibuat dari rotan. Jadi sisi wadah dibuat dari kulit kerbau dan batas lingkarannya terbuat dari rotan yang kemudian diberi tali yang juga terbuat dari bahan rotan. Timo ini umumnya berfungsi sebagai wadah untuk menampung madu.
Ada juga alat yang bernama Gegalung Galo. Ini merupakan alat pertanian yang digunakan Suku Sakai yang hidup dengan cara bertani. Jadi alat ini merupakan sejenis penjepit yang terbuat dari bambu serta batang pepohonan. Fungsinya untuk menjepit ubi manggalo untuk diambil sari patinya. Ubi manggalo sendiri merupakan salah satu jenis tanaman yang biasa ditanam oleh Suku Sakai dalam kebiasaan bertaninya. Nantinya, sari pati dari ubi manggalo akan ditampung di Timo. Pakaian orang-orang Sakai juga dibuat dari bahan yang sudah ada di alam. Bahannya biasa diambil dari kulit pohon. Dengan pakaian tersebut, Suku Sakai melindungi tubuhnya saat hidup berpindah-pindah atau nomaden.
Suku Sakai Punya Aturan Sendiri dalam Berladang
Kehidupan berladang Suku Sakai juga menganut aturan sendiri. Salah satunya aturan dalam pembukaan hutan untuk dijadikan ladang. Hukum adat mengatur kehidupan berladang masyarakat Suku Sakai. Jika hukum adat tersebut dilanggar, tanaman atau tumbuhan yang sudah ditanam nantinya akan rusak oleh hewan liar atau hama.
Dalam kepercayaan animisme, gagal panen diartikan adanya Antu yang mengganggu mereka. Para Antu akan mengganggu masyarakat yang tak menuruti aturan adat dalam berladang. Sayangnya, kehidupan Suku Sakai seiring waktu jadi tersingkir. Penebangan pohon dan eksplorasi yang berlebihan membuat kehidupan Suku Sakai jadi terancam. Hidup bergantung pada alam lalu alam rusak, jelas upaya bertahan hidup jadi makin tak mudah.
Suku Sakai Terancam Punah
Pola hidup Suku Sakai yang selalu berusaha menjaga keseimbangan ekosistem alam membuat mereka dijuluki suku penjaga hutan. Makin rusaknya hutan dan alam serta hilangnya sejumlah pantangan atau aturan adat yang tadinya dianut, membuat suku ini terancam punah. Alasan lain yang membuat Suku sakai mulai hilang adalah karena rendahnya pengetahuan mereka tentang kemajuan dan teknologi. Sehingga mereka sering diremehkan dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab yang ingin merusak alam.
Tradisi nomaden pun mulai ditinggalkan oleh Suku Sakai karena hutan di wilayah Riau yang makin berkurang. Kini, kabarnya Suku Sakai tak cuma tinggal di Provinsi Riau saja. Populasi mereka sudah menyebar di berbagai daerah, seperti Jambi. Sudah banyak yang berbaur dengan orang luar yang lebih modern. Bahkan ada yang sudah lebih maju dengan mengenyam pendidikan yang lebih layak. Tampaknya melihat kembali Suku Sakai yang bergantung pada hasil kekayaan sungai dan mencari ikan sudah sangat sulit saat ini.
Inilah Sakai, salah satu suku terasing di Indonesia yang kehidupannya sudah mulai terancam. Gara-garanya adalah kerusakan alam yang dihasilkan oleh orang-orang yang tak peduli kecuali hanya pada uang. Ini harusnya jadi perhatian kita agak lebih menjaga dan mengayomi alam karenanya nyatanya semua orang membutuhkannya.