Dalam panggung sejarah Indonesia di masa lalu, ada banyak pahlawan yang berjuang demi membela negaranya namun tak banyak diketahui. Padahal, kiprah mereka bisa dibilang bukan main-main beratnya. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh sosok Djajeng Pratomo, aktivis Indonesia yang saat itu tinggal di Belanda.
Bisa dibilang, Djajeng termasuk orang Indonesia yang merasakan pertempuran melawan Belanda di masa Agresi Militer II hingga mencicipi kekejaman pasukan Nazi saat dirinya ditawan di Kamp Dachau. Sayang, namanya seolah pudar oleh sejarah, yang tak banyak mengetahui kiprahnya menjaga Indonesia di tanah yang asing.
Sosok keturunan ningrat yang mendapat kesempatan belajar ke Belanda
Sebagai keturunan keluarga ningrat – tepatnya dari keluarga Pura Pakualaman, Yogyakarta – RM Djajeng Pratomo berkesempatan untuk belajar ilmu kedokteran di Leiden, Belanda. Dilansir dari laman gedaechtnisbuch.org, pria yang lahir pada 22 Februari 1914 di Bagan Si Api-Api di Sumatra, sempat menimba pengetahuan pada bidang keuangan di Rotterdam selang satu tahun kemudian. Di sana, ia bersinggungan dengan organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) dan kelak aktif di dalamnya.
Aktif di organisasi Perhimpunan Indonesia (PI)
Sebagai organisasi yang mendukung penuh upaya kemerdekaan Indonesia, Djajeng terlibat aktif dengan segala bentuk aktivitas di dalamnya. Laman historia.id menuliskan, klub sosial mahasiswa Indonesia di Belanda yang didirikan pada 1922 ini, kemudian berkembang jadi organ politik kebangsaan yang gigih melawan kekuatan fasis. Hal inilah yang nantinya menjadi penyebab Djajeng diburu oleh pihak Nazi dan kelak mengirimnya ke Kamp konsentrasi yang dikenal sebagai tempat maut di era Perang Dunia II.
Ditangkap pasukan Nazi Jerman dan dikirim ke Kamp Konsentrasi
Di bawah Third Reich-nya, Nazi Jerman melakukan invasi ke negara-negara Eropa, termasuk Belanda. Djajen yang kala itu menjadi anggota PI, dianggap ilegal dan menjadi target buruan karena memiliki ideologi yang menentang fasisme. Polisi Nazi Jerman pun mulai menangkapi para aktivisnya, termasuk Djajeng dan Stennie, gadis Eropa yang kelak menjadi istrinya. Laman historia.id menuliskan, dua sejoli itu pun dikirim ke Kamp Vught sebagai tahanan. Tak lama, Djajeng akhirnya dipindah ke kamp maut Nazi di Ravenbruck dan Dachau, Jerman.
Berhasil lolos dan dibebaskan tentara Amerika Serikat
Selama di Dachau, Djajeng kerap menyaksikan tumpukan mayat setiap harinya. Sebagai tahanan, ia juga dipekerjakan secara paksa untuk untuk pabrik pesawat terbang Messerschmitt. Laman dunia.tempo.co menuliskan, Djajeng bahkan harus pintar-pintar memanipulasi kartu identitas tahanan miliknya agar lolos dari eksekusi mati tentara SS Nazi. Beruntung, nasibnya terselamatkan saat pasukan Amerika Serikat datang ke Kamp tersebut dan membebaskan tahanan di dalamnya.
Berjuang membantu kemerdekaan Indonesia lewat jalur politik
Setelah bebas, Djajeng dan Stennie akhirnya menikah sebagai warga negara Indonesia pada Februari 1946 dan melanjutkan pekerjaan politik untuk membela kemerdekaan RI. Hal ini terlihat saat dirinya dengan berani memprotes Belanda yang saat itu melancarkan agresi militer I pada Juli 1947. Sumber nusantara.news menuliskan, ia menggelar protes massal di Concertgebouw, Amsterdam bersama Perhimpunan Indonesia (PI). Sayang, upayanya kembali ke Indonesia terhalang karena adanya peperangan (Agresi Militer I) tahun 1948, dan G30S/PKI yang melengserkan Sukarno dari kursi kepresidenan pada 1965-1966. Hingga dirinya tiada, tak banyak yang tahu tentang kiprahnya di masa lalu demi kemerdekaan Indonesia.
BACA JUGA: Horornya Kamp Dachau, Penjara Nazi Jerman yang Sempat Menahan Pejuang Indonesia di Eropa
Sayang, kiprah Djajeng di panggung sejarah Indonesia seolah terlupakan. Padahal, dirinya merupakan sosok penting saat memprotes Belanda yang melancarkan agresi militer I pada Juli 1947. Lewat Perhimpunan Indonesia (PI) itu juga, Djajeng sempat menjadi buruan dan pesakitan di Kamp Dachau Nazi Jerman. Tokoh perjuangan politik itu pun akhirnya tutup usia pada 15 Februari 2018 lalu dalam usia 104 tahun.