Usai sudah debat pilpres 2019 antara paslon Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto. Sebelumnya, baik Jokowi dan Prabowo pernah bersua di ajang serupa. Di mana keduanya saat itu didampingi oleh cawapres sebelumnya, yakni Jusuf Kalla di pihak Jokowi dan Hatta Rajasa yang mendampingi Prabowo.
Sayang, debat pilpres 2019 putaran pertama yang digadang-gadang menyajkan ‘pertarungan’ panas, malah terkesan hambar dan sedikit ‘loyo’. Jika dibandingkan dengan ajang serupa di tahun 2014, debat pilpres pada 2019 seolah kehilangan ‘ruh’ sebagaimana layaknya adu argumentasi yang kuat dari kedua belah pihak. Setidaknya, beberapa perbedaan yang begitu kentara antara debat tahun 2014 dan 2019.
Greget debat yang kehilangan seolah ‘aura’
Banyak yang merasa bahwa debat pilpres 2019 terasa kurang ‘menggigit’ dibanding ajang serupa yang pernah diselenggarakan di tahun 2014. Menurut Ketua KPU Arief Budiman yang dikutip dari tirto.id, ada perbedaan format yang digunakan. Pada tahun 2014, pihak KPU banyak diisi pertanyaan di awal-awal acara. Sementara di 2019, perdebatan sudah dimulai sejak segmen satu. Flashback ke belakang, debat capres dan cawapres saat Jokowi masih berpasangan dengan Jusuf Kalla melawan kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, jalannya acara lebih banyak didominasi oleh pertanyaan demi pertanyaan.
Penulis berasumsi, justru pada konteks inilah esensi debat yang sesungguhnya disajikan. Alhasil, ada banyak argumentasi yang saling tarik menarik dari masing-masing paslon untuk meleburkan dirinya pada diskusi yang ada. Mungkin inilah yang dilihat oleh kita sebagai netizen yang awam, merupakan debat yang panas dan full silat lidah. Lantas, bagaimana dengan 2019? Seperti yang kita saksikan di layar kaca, masing-masing paslon yang didampingi oleh cawapresnya yang tergolong baru di ajang debat tersebut, terkesan ‘anteng’ dan lebih banyak didominasi oleh sang capres.
Arah konteks orientasi dan jawaban antar capres cawapres
Bisa dibilang, momen debat pada 2014 merupakan ajang pertarungan visi misi yang sesungguhnya. Di mana masing-masing kandidat capres dan cawapres belum pernah merasakan kursi sebagai RI 1. Menurut pengamatan pribadi penulis, kedua kubu masih terkesan meraba-raba dan berhati-hati dalam menyampaikan program masing-masing jika terpilih. Beranjak di tahun 2019, Jokowi sebagai petahana punya modal yang bagus karena unggul pengalaman sebagai presiden. Visi misi yang disampaikan pun tak jauh-jauh dari progres untuk meneruskan program kerja yang sudah ada.
Sayangnya, ada beberapa janji Jokowi yang belum terpenuhi jika menjadi pemimpin, yakni masalah HAM untuk mengungkap kasus Munir dan hilangnya penyair Widji Thukul. Dilansir dari news.detik.com, visi misi pada kubu Prabowo sendiri sempat mengalami revisi alias perubahan isi dan tatabahasa agar lebih mudah dimengerti. Adalah maklum adanya jika badan pemenangan masing-masing paslon, selalu berusaha memproteksi kandidatnya dengan beragam argumen-argumen yang bersifat defensif. Pada debat pilpres 2019, masing-masing kubu terlihat hanya memaparkan program-program yang diusung dan berusaha menjawab pertanyaan lawan sebaik mungkin agar tidak terlihat ‘miss’ di mata masyarakat.
Gaya dan pemikiran kritis masing-masing paslon
Tak hanya ditunggu-tunggu oleh jutaan penduduk Indonesia saja, penulis pun sangat antusias dan menganggap debat pilpres 2019 sebagai ‘arena baru’ bagi cawapres KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno untuk unjuk kebolehan. Sayang, aksi-aksi yang dinantikan ternyata tak terwujud sesuai ekspetasi. Dikutip dari laman nasional.kompas.com, Ma’ruf Amin lebih banyak mengekor apa yang telah dijabarkan oleh Jokowi selama sesi debat berlangsung. Bisa dibilang, ia lebih memilih posisi sebagai ‘pelengkap’ yang memperkuat argumen yang disampaikan. Sementara untuk Sandiaga Uno, penulis menilai ia lebih berani melakukan argumen dengan Jokowi ketimbang Ma’ruf Amin. Pada sesi- sesi berikutnya, Sandiaga juga saling berbagi jawaban maupun pertanyaan dengan Prabowo hingga akhir acara.
Menurut pandangan penulis, paslon Prabowo dan Sandiaga Uno sukses memberikan gambaran pada publik bahwa keduanya saling bersinergi satu sama lain. Meski pada akhir keseluruhan, jalannya perdebatan terasa begitu ‘kering’ dan mengambang. Mundur ke tahun 2014, masing-masing paslon diberi kesempatan untuk mengemukakan visi dan misi serta program yang diusung. Tidak lupa, mereka juga saling melontarkan pertanyaan sekaligus jawaban pada tiap individu. Kesimpulannya, penulis lebih mengapresiasi debat pada 2014 dibanding 2019 karena adanya perbedaan dalam hal gaya diskusi dan antusiasme masing-masing individu dalam beradu argumen.
Daya pikat masing-masing capres dan cawapres
Menurut penulis, tak ada yang istimewa pada debat capres 2019. Selain minim spontanitas dan retorika untuk memperjelas visi misi yang diusung, kubu Jokowi-Ma’ruf amin terlihat tidak percaya diri karena kerap melihat contekan kertas yang dibawa. Sementara untuk kubu Prabowo, penulis mengapresiasi karena mengawali debat dengan percaya diri. Hal ini terlihat dari gaya bicaranya tanpa menggunakan teks. Namun untuk acara secara keseluruhan, jujur penulis merasa tak ada yang istimewa di dalamnya.
Terlebih, alur acara terasa sangat kaku karena langsung dibuka dengan argumen dan perdebatan dari masing-masing paslon. Mungkin, daya pikat ada pada sosok cawapres pada tiap kubu yang merupakan ajang perdana bagi mereka, meski penulis sendiri mengakui Sandiaga lebih unggul dari Ma’ruf Amin karena mau beradu argumen dengan Jokowi. Mundur ke acara debat pilpres 2014, penulis lebih tertarik karena baik capres dan cawapres, mau berbicara dan beradu gagasan tentang program yang diusung. Bisa dibilang, figur yang terlibat pada masa itu memiliki daya pikat lebih dibanding pada debat pilpres 2019.
Tanggapan netizen tentang pilpres 2019 dan 2014
Jika melihat dari pemberitaan yang ada, netizen tampaknya kecewa dengan debat pilpres 2019 di putaran pertama ini. Dilansir dari laman tempo.co, tema yang mengangkat seputar hukum, HAM, terorisme dan korupsi tersebut, nyatanya dianggap tak menarik oleh netizen karena terlalu kaku. Demikian juga menurut penulis, ajang debat pilpres 2019 tak ubahnya sebagai pemanasan awal untuk melihat dan meraba kondisi lawan. Masing-masing kubu terlihat hati-hati dan terlalu banyak melakukan repetisi dialog yang melelahkan.
Jika kembali ke masa debat pilpres di tahun 2014, penulis memang lebih memilih acara tersebut dibanding 2019. Jelas, kualitas dalam berdialog dan keberanian masing-masing individu menjadi alasan utama untuk menyukai. Di tahun ini pula, muncul istilah ‘kecebong’ dan ‘kampret’ yang merupakan label dari netizen pendukung masing-masing paslon. Asumsi penulis, debat capres 2014 lebih menarik netizen dengan adanya bukti-bukti seperti julukan di atas.
BACA JUGA: 4 Alasan Logis Mengapa Debat Capres Tidak Perlu Dilakukan
Debat pilpres 2019 putaran pertama yang telah usai, belum bisa dijadikan tolak ukur untuk menakar kapabilitas dan kredibilitas masing-masing paslon. Selain masih terasa ada yang ‘hilang’, hasil debat pun tergolong masih abu-abu untuk dimengerti secara jelas. Baik program dan visi misi yang diusung masing-masing kubu. Terutama pada masalah yang sensitif seperti HAM dan terorisme.