3. Pakaian Adat Paes Ageng dari Yogyakarta
Sudah bisa ditebak bahwa pakaian adat dari Yogyakarta terinspirasi dari busana tradisi Keraton Yogyakarta. Dahulu kala, Paes Ageng atau yang disebut dengan Kebesaran, hanya boleh digunakan oleh kerabat Kraton saja. Semenjak era Sultan Hamengku Buwono IX, Paes Ageng mulai diijinkan untuk dikenakan di luar Kraton. Tata rias Paes Ageng lalu berkembang, dan menjadi tren di kalangan masyarakat umum.
Paes Ageng memakai pakaian yang disebut dengan dodotan, yang terdiri dari kain cinde dan dodotan itu sendiri. Kain dodot memiliki ukuran 4-5 meter. Biasanya, kain dodot ini menggunakan motif semen raja yang memiliki makna agar pengantin mempunyai hidup mulia seperti raja. Motif cinde sendiri melambangkan penghormatan kepada Dewi Sri (dewi padi) yang melambangkan kemakmuran.
Tata rias Paes Ageng juga tidak sembarangan. Bagian dahi pengantin wanita dihias dengan paes (make up) warna hitam dengan sisi keemasan. Demikian pula rambutnya, yang berbentuk sanggul bokor. Demikian pula pakaian dan tata rias untuk prianya. Ada kuluk (topi), ukel ngore (buntut rambut menjuntai) dilengkapi sisir dan cundhuk mentul kecil.
Boleh dibilang, adat Paes Ageng ini cukup rumit, sebab mulai dari motif pakaian, tata rias, dan aksesorisnya merupakan sebuah perlambang dan memiliki makna tersendiri.