Mengungkap kejahatan dan membuat para tersangkanya mengaku memang sudah menjadi tugas dan kewajiban para penegak hukum. Tujuannya tentu agar keadilan bisa ditegakkan dan pelaku kejahatan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.
Umumnya, seseorang baru bisa mendapatkan hukuman jika ia benar-benar bersalah dengan bukti-bukti nyata yang mendukung. Tapi di Jepang, tanpa bukti lengkap pun seseorang yang dinyatakan tersangka bisa diadili hanya berdasarkan pengakuannya saja. Meski pengakuan tersebut juga dibuat di bawah tekanan.
Diperkirakan di Jepang setiap tahunnya ratusan orang dihukum dengan semena-mena untuk kejahatan yang sebenarnya tidak pernah mereka lakukan. Negeri sakura tersebut membanggakan tingginya tingkat vonis bersalah dengan angka 99,8% dibandingkan dengan Amerika yang hanya 88%. Hanya saja, kamu tidak akan percaya dengan apa yang dilakukan Jepang untuk menjaga agar angka ini tetap tinggi.
Meskipun Jepang adalah salah satu tempat teraman di dunia dan negara terkaya ketiga di dunia, tapi sistem peradilannya penuh dengan korupsi dan penyiksaan psikologis. Tersangka secara rutin dihadapkan pada sesi pertanyaan yang tidak manusiawi dan memaksa mereka untuk mengakui kejahatan yang belum tentu mereka lakukan hanya agar tingkat vonis bersalah tetap berada di tempat tertinggi.
Di Jepang, pengakuan dari terdakwa dipercaya sebagai bukti yang paling kuat bahwa ia memang bersalah. Sementara di negara lainnya, umumnya lebih bergantung pada bukti nyata untuk membangun sebuah kasus, jadi juri bisa mengambil keputusan.
Sayangnya, pengadilan di Jepang tidak memiliki juri. Jadi, takdir terdakwa ditentukan oleh sekelompok jaksa. Tentu saja putusan hakimnya akhirnya hampir selalu bersalah karena para petugas interogasi melakukan segala yang diperlukan agar mendapatkan pengakuan bersalah dari tersangka sebelum dibawa ke pengadilan. Tidak peduli mereka benar-benar melakukan kejahatan tersebut atau tidak.
Polisi Jepang diketahui banyak melakukan metode yang aneh untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Di kebanyakan negara lain seperti Inggris dan Amerika, polisi hanya bisa menahan tersangka selama 24 jam setelah penangkapan. Tapi, di Jepang, polisi bisa menahan tersangka sampai 23 hari tanpa bukti.
Saat sedang ditahan inilah, tersangka tidak boleh mendapatkan kontak dari dunia luar dan mereka bahkan tidak akan mendapatkan akses ke pengacara sampai polisi selesai melakukan interogasi. Budaya Jepang menempatkan kehormatan keluarga di posisi tertinggi. Petugas interogasi memanfaatkan ini untuk keuntungan mereka dalam kasus pembunuhan tahun 2013.
Satu orang tersangka mengatakan bahwa polisi terus menerus mengatakan padanya bahwa ibunya memintanya untuk mengakui pembunuhan tersebut. Namun, ia sendiri tidak bisa menghubungi ibunya untuk bertanya apakah benar apa yang dikatakan para polisi tersebut. Pada akhirnya, ia mengakui pembunuhan tersebut.
Tersangka tersebut kemudian berkata bahwa ia diinterogasi tanpa henti selama 5 hari berturut-turut, siang dan malam. Ia harus menghabiskan waktu 29 tahun di penjara untuk kejahatan yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Meski mengakui pembunuhan tersebut, ia akhirnya berhasil membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dalam persidangan ulang selanjutnya.
Pada tahun 2007 di sebuah kota kecil di Barat Jepang, 13 tersanga dituduh melakukan kecurangan dalam sebuah pemilu dengan cara membeli suara. Semua tersangkanya berusia antara 50-80 tahun. Mereka diinterogasi selama berbulan-bulan sampai tiba waktunya untuk diadili.
6 orang diantaranya akhirnya menyerah dan menandatangi pengakuan tertulis yang menyebutkan bahwa mereka mengaku membeli suara dengan minuman keras dan uang. Satu orang meninggal dunia daalam proses peradilan karena tertekan sementara pria lainnya mencoba bunuh diri bersama istrinya dua kali tapi polisi menghentikan mereka dan ditagkap lagi untuk lebih banyak interogasi.
Semua tersangka yang masih hidup akhirnya dinyatakan bersalah di pengadilan meskipun polisi tidak punya bukti apapun kecuali selembar kertas pengakuan mereka. Tapi, semua tuduhan akhirnya dibatalkan dan pengadilan menemukan bahwa pengakuan mereka ternyata semua dipalsukan. Para jaksa juga mengatakan bahwa tersangka memberikan pengakuan karena putus asa akibat interogasi yang tidak ada hentinya. Meski begitu, pihak kepolisian tidak mendapatkan sanksi apapun atas tuduhan tidak berdasar mereka.
Sistem peradilan di Jepang banyak mendapatkan kritikan tajam oleh organisasi HAM seperti United Nations Human Rights Committee. Namun sedikit demi sedikit keadaan juga mulai maju karena di beberapa area, Jepang telah memperkenalkan sistem peradilan ala Amerika dengan adanya juri.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…