Sebagai salah satu organisasi keagamaan yang berpengaruh di Indonesia, Muhammadiyah memiliki pakem sendiri untuk menentukan tanggal puasa dan lebaran bagi para anggotanya. Karena itu, tak heran jika ada perbedaan saat menjalankan ibadah maupun merayakan hari raya Idul Fitri jika dibandingkan dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Meski demikian, hal tersebut tak lantas membuat keduanya mempermasalahkan metode yang digunakan. Baik Muhammadiyah maupun NU, tentu memiliki landasan berupa dalil yang digunakan sebagai dasar keputusannya. Kedua belah pihak juga tetap melaksanakan ibadah yang dianjurkan selama bulan suci Ramadan, dan saling menghormati keputusan masing-masing.
Soal perbedaan tanggal awal puasa dan lebaran, Muhammadiyah ternyata menggunakan metode sistem hisab (perhitungan), yang kemudian menjadi acuan penyelenggaraan puasa dan Lebaran versi organisasinya. Penetapan ini berbeda dengan NU dan pemerintah yang menggunakan metode imkanur rukyat, yakni dengan cara melihat langsung kondisi bulan seperti tinggi bulan sabit (hilal) harus lebih dari dua derajat di atas ufuk.
Tak heran jika masyarakat Indonesia yang mayoritas NU, kerap melihat warga yang berasal dari kalangan Muhammadiyah berpuasa dan merayakan Lebaran lebih awal. Perbedaan semacam ini ternyata tak hanya dialami oleh Muhammadiyah dan NU saja, tapi juga negara-negara dunia. Terutama di kawasan Afrika dan Timur Tengah.
Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah.or.id (30/07/2010) Pemerintah Mesir, misalnya, khusus untuk bulan Zulhijah mengikuti Arab Saudi karena bertepatan dengan waktu haji dan puasa Arafah. Namun saat bulan suci Ramadan, Idulfitri dan bulan-bulan lainnya, Mesir membuat penetapan sendiri yang bisa saja berbeda dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Arab Saudi.
Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, Prof. Dr. Idris Bensari mengatakan, umat Islam hingga saat ini belum mampu membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan berlaku secara terpadu bagi seluruh umat Islam di dunia. Hal ini menurutnya disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat.
Muhammad Hadi Bashori, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Falak (2015), pada halaman 193 menuliskan, metode “rukyatulhilal” yang artinya melihat (rukyat) dan bulan sabit (hilal), jika digabungkan merupakan cara untuk melihat secara langsung bulan sabit di kaki langit di waktu ghurub dengan mata, baik menggunakan alat bantu optik maupun dengan mata telanjang. Metode inilah yang selama ini digunakan oleh NU.
Lain halnya dengan Muhammadiyah yang menggunakan metode Hisab, cara ini menggunakan perhitungan (‘adda), mengukur (qaddara) dan kalkukasi (akhsha) yang biasa dilakukan oleh para pakar di bidang ilmu falak (astronomi). Dengan metode ini, hasil yang didapat berasal dari pengamatan yang dilakukan dengan menghitung pergerakan posisi hilal di akhir bulan untuk menentukan awal bulan (khusus) seperti Ramadan.
BACA JUGA: Inilah 6 Ulama Yang Berjasa Besar Bagi Indonesia
Meski memiliki perbedaan soal metode yang digunakan untuk menentukan bulan puasa dan Lebaran, hal tersebut bukanlah menjadi sebuah jurang pemisah antara warga Muhamadiyah dengan NU. Masyarakat dari kedua organisasi besar itu tetap melaksanakan ibadah puasa dan bergembira menyambut Lebaran, dengan tetap menjalin kerukunan dan silaturahmi dalam balutan ukhuwah islamiyah.