Pada abad ke-19, tepat di tahun 1830-1870-an Nusantara pernah mengalami apa yang nama sistem tanam paksa atau cultuurstelsel atau kerja rodi. Sistem ini membuat banyak sekali warga yang ada di Nusantara, khususnya Pulau Jawa Menderita dengan teramat parah. Bahkan sistem ini dipandang sebagai sistem terburuk yang pernah dilakukan Belanda kepada negara yang menjadi koloninya.
Sistem tenam paksa ini benar-benar merugikan pribumi secara penuh. Pihak Belanda yang cuma “menumpang” tinggal justru menguasai semuanya. Bahkan penduduk harus tetap membayar pajak meski dipaksa bekerja tanpa lelah. Berikut fakta tanam paksa yang sangat tragis bagi pribumi Nusantara yang tak bisa apa-apa.
Sistem tanam paksa ini pertama kali dilakukan pada masa Gubernur Jenderal Belanda bernama Johannes van den Bosch. Ia ingin mengembalikan kerugian dari Hindia Belanda akibat perang terbesar selama lima tahun. Kala itu Belanda harus habis-habisan melawan serangan dari Pangeran Diponegoro yang sangat hebat.
Demi keuntungan yang cepat, Belanda mewajibkan setiap bumiputra atau pemilik tanah memberikan minimal 20% tanahnya pada Belanda. Selain diserahkan sebanyak 20% mereka juga harus menggarapnya untuk Belanda. Tanaman yang harus dikembangkan berupa kopi, tebu, teh, dan nila. Semua komoditas ini nantinya akan diekspor ke Eropa dan mendapatkan keuntungan yang besar bagi Belanda.
Saat berada di Nusantara, Belanda juga mengenakan pajak kepada para penduduk. Bahkan tanah yang digunakan untuk cultuurstelsel juga masih dikenakan pajak. Belanda memberlakukan aturan ini dengan dalih agar semua orang mampu melunasi utang-utang pajak yang sesungguhnya lebih banyak fiktif daripada aslinya.
Penduduk yang tidak memiliki sejumlah tanah, diwajibkan bekerja secara paksa selama 75 hari salam setahun. Bisa dibayangkan betapa menderitanya penduduk yang tidak punya apa-apa namun tetap diharuskan menebus pajak. Penduduk yang tidak mau melakukan kerja rodi ini akan dikenai hukuman yang sangat berat oleh Belanda. Bahkan bisa menyebabkan mereka kehilangan nyawa.
Sistem cultuurstelesel yang diberlakukan oleh Johannes van den Bosch memberikan dampak baik bagi Belanda. Bahkan negeri itu berhasil menutup kerugian, pun masih mengirimkan banyak pundi-pundi Gulden ke Negara Belanda di Eropa. Kehebatan ini justru bertolak belakang dengan apa yang terjadi bagi penduduk lokal. Mereka justru menderita hingga tiada habisnya.
Beban rakyat jadi semakin besar akibat tanam paksa ini. Mereka harus bekerja tanpa boleh lelah dan tetap diwajibkan membayar pajak. Selain itu penduduk juga harus menanggung kerugian jika terjadi gagak panen. Penghasilan penduduk menurun karena mereka tak bisa menggarap ladang mereka sendiri. Akibatnya beras di pasaran jadi menipis dan harganya melambung tinggi. Lambat laun banyak penduduk tak bisa mendapatkan beras hingga bencana kelaparan tak bisa dihalangi lagi. Di era tahun 1840-an, busung lapar menjadi wabah yang mengerikan di Jawa.
Kita tidak bisa memukul rata jika pada masa penjajahan semua orang Belanda adalah kejam. Justru saat terjadi tanam paksa, banyak orang Belanda terutama kaum humanis yang melakukan protes sangat keras. Orang itu adalah Eduard Douwes Dekker atau Multatuli. Ia menulis Max Havelaar sebagai kritik akan kekejaman orang kolonial dalam menyiksa para bumiputra yang malang.
Selanjutnya ada Baron van Hoevel yang merupakan misionaris yang bertugas di Indonesia. Melihat keadaan penduduk pribumi yang sangat menderita ia akhirnya melakukan protes keras. Bahkan sampai membuat pemerintah Hindia Belanda murka. Terakhir ada Conrad Teodore van Deventer, ia menulis artikel berjudul Een Eereschuld yang berisi kemiskinan tanah jajahan Belanda. Tulisan dari Conrad Teodore van Deventer akhirnya berkembang menjadi sebuah pemikiran Politik Etis.
Sistem tanam paksa yang dikenal sangat kejam hingga membuat banyak pribumi menderita akhirnya dihapus. Protes para humanis dan juga kaum pengusaha di Belanda sana membuat praktik ini tamat. Pada tahun 1870 terbit sebuah undang-undang yang dinamai dengan UU Agraria 1870. Undang-undang juga disusul dengan UU Gula 1870.
Undang-undang ini secara garis besar memberikan perlindungan hak milik petani pribumi atas tanahnya dari penguasaan asing. Selanjutnya undang-undang ini juga membuat pengusaha asing bisa menyewa tanah dari para bumiputra yang ada di Nusantara. Undang-undang ini juga memberikan jangka waktu kepada penyewa agar tidak merugikan bumiputra atau pemilik tanah.
Inilah lima fakta tragis dari tanam paksa atau kerja rodi yang terjadi di Nusantara pada abad ke-19. Beruntunglah kita lahir di era yang lebih baik tanpa harus merasakan ngerinya tanam paksa yang tak manusiawi itu.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…