Dalam roda kehidupan, terkadang sebuah kebenaran, ditutup rapat-rapat oleh mereka yang dibutakan atas nama keadilan. Atas nama hukum pula, mereka seolah berkuasa untuk mengaburkan kebenaran menurut prasangka dan hawa nafsu pribadi. Hal semacam inilah yang dialami oleh seorang Tajudin, seorang pria miskin yang menjadi penjual cobek keliling.
Hanya karena kesalahpahaman yang tak ditelusuri kebenarannya, Tajudin harus merelakan dirinya meringkuk di tahanan selama sembilan bulan. Yang miris, dirinya dipenjara karena tuduhan mengeskploitasi anak dibawah umur untuk bekerja mencari nafkah. Selain menjadi perdebatan, penahanan dirinya yang dilakukan secara tiba-tiba juga tergolong kontroversial. Seperti perjuangannya mencari keadilan? simak ulasan berikut.
Hukuman kontroversial kepada penjual cobek miskin
Pada hari itu, mungkin tidak terlintas dalam pikiran Tajudin, seorang penjual batu cobek keliling, bisa meringkuk dalam sel tahanan layaknya seorang penjahat. Padahal, dirinya hanyalah seorang penjual cobek biasa yang kerap berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menjajakan dagangan miliknya.
Tak tanggung-tanggung, dirinya dikenai UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPP) dengan ancaman 15 tahun penjara, dimana peraturan tersebut memuat Pasal 2 ayat (1) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Atas tuduhan ini, ia pun harus merelakan sebagian waktunya dihabiskan di dalam dinginnya sel tahanan.
Tulang punggung keluarga dengan penghasilan minim
Diketahui, Tajudin ternyata merupakan seorang kepala rumah tangga sekaligus tulang punggung bagi keluarganya. Selain seorang istri yang saat itu tengah hamil tua, ia juga mempunyai kedua anak yang duduk dibangku SMP dan SMA. Bahkan, kondisi badannya yang kurus kering selama berada di penjara juga tidak diketahui keluarganya.
Tak hanya merasa terdzalimi, Tajudin juga memikirkan nasib keluarganya jika tanpa didampingi oleh dirinya. Dengan penghasilan Rp 500 ribu perbulan, ia menafkahi keluarga kecilnya tersebut setiap bulannya. Cobek seharga Rp 5 ribu dan Rp 20 ribu, dijulanya kembali dengan harga Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu.
Tak dijenguk keluarga karena ketakutan dan trauma
Sejak dirinya tersandung kasus tersebut, ia sudah putus komunikasi dan tidak mengetahui nasib keluarganya. Yang mengharukan, sang istri yang sebelumnya hamil tua, terpaksa melahirkan anaknya tanpa ditemani oleh dirinya. Sejak masuk sel, dirinya tidak dikunjungi oleh siapapun. Begitu juga sebaliknya, keluarganya tak ada yang berani berkunjung karena masih trauma atas kasus yang menimpa ayah mereka.
Selama di dalam sel tahanan, Tajudin senantiasa merasa cemas akan nasib keluarga, terutama sang istri dan anak-anaknya. Pria berusia 42 tahun tersebut juga dilarang menggunakan telepon seluler selama berada didalam sel penjara. Tak hanya itu, keluarganya pun tak ada yang mengirim surat untuk dirinya, sekedar mengabari kondisi terkini keluarga di rumah.
Kasus eksploitasi anak yang tak terbukti dan vonis bebas
Setelah kasusnya ditinjau beberapa kali, Tajudin akhirnya dibebaskan karena dirinya tidak terbukti melakukan tindakan kriminal eksploitasi anak seperti yang dituduhkan pada dirinya. Usut punya usut, kedua anak yakni Cepi dan Dendi, merupakan keponakan yang terhitung masih kerabat dekat keluarganya.
Atas penelusuran tersebut, dirinya di vonis bebas oleh PN Tangerang tak lama kemudian. Sayangnya, meski telah bebas, dirinya masih harus menunggu keputusan yang dikeluarkan oleh PN Tangerang. Baru setelah diperjuangkan oleh tim LBH, Tajudin akhirnya bisa benar-benar menghirup udara bebas.
Anaknya dapat beasiswa, Tajudin ajukan tuntutan balik
Setelah kebebasan dirinya di sahkan oleh PN Tangerang, Tajudin menempuh jalur hukum untuk balik menggugat aparatur negara terkait yang dinilai telah mendzalimi dirinya. Selama sembilan bulan, ia harus meringkuk di tahanan setelah dituduh mengeksploitasi anak di bawah umur untuk bekerja.
Selain itu, seorang putrinya yang merupakan anak pertama, mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Sontak, hal tersebut membuat tangis keduanya meledak. Keharuan pun menyeruak diantara mereka, sebagai ucapan syukur atas kejadian tersebut. Beasiswa tersebut diberikan secara langsung oleh Ketua DPD Golkar, Doddy Imron Chalid yang mengunjungi kediaman Tajudin.
Kisah yang dialami oleh Tajudin, menjadi bukti betapa lemahnya sistem peradilan dan mekanisme hukuman di negara ini. Hanya karena dirinya terlihat seolah mempekerjakan anak dibawah umur, Tajudin harus rela menghabiskan waktunya di penjara selama sembilan bulan. Semoga kedepannya, para aparat penegak hukum tak lagi lalai dalam mengadili seseorang sebelum ditelusuri dulu kebenarannya berdasarkan fakta dan bukti yang nyata.