Sunat atau khitan atau circumcision adalah sebuah metode memotong atau memutilasi sebagian organ kelamin dengan tujuan tertentu, biasanya kesehatan dan pemenuhan ritual keagamaan. Khitan dilakukan kepada kaum pria dengan memotong kulit yang sering disebut dengan foreskin agar kebersihan organ reproduksi semakin terjamin.
Dalam beberapa budaya di dunia, termasuk Indonesia, sunat pun dilakukan kepada perempuan, meski secara medis sunat pada perempuan bisa mengganggu kesehatan mereka. Lantas kenapa masih tetap dilakukan? Berikut fakta-fakta yang akan menjawabnya.
1. Selayang Pandang Sunat Perempuan yang Konon Mengerikan
Sunat perempuan atau dalam bahasa medik disebut dengan female genital mutilation (FGM) adalah sebuah metode memotong bagian eksternal pada organ reproduksi perempuan. Organ yang dipotong biasanya berupa clitoral hood, clitoral glans hingga bagian lebih besar seperti labia dan vulva. Yang paling mengerikan, ada perempuan yang dipotong hampir semua organ luar reproduksinya hingga hanya menyisakan saluran reproduksi saja. Prosedur ini sering disebut dengan infibulation.
Sunat perempuan telah terjadi di 27 negara di dunia. Diperkirakan 200 juta perempuan mengalami pemotongan organ reproduksi eksternalnya dengan metode yang beragam. Rata-rata di usia 0-14 tahun gadis-gadis akan mengalami mutilasi ini pada organ vitalnya. Di Indonesia sendiri hingga tahun 2016 diperkirakan ada 49% gadis usia 0-14 yang mengalami sunat yang mengerikan ini.
2. Salah Kaprah tentang Fungsi Sunat Perempuan
Salah satu trigger atau pemicu munculnya sunat perempuan adalah pemenuhan ritual kebudayaan atau pun agama. Perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah hingga tak berhak mendapatkan apa-apa saja termasuk dalam urusan ranjang. Dengan memotong beberapa bagian organ vital eksternal seperti clitoris, perempuan akan mampu dikendalikan gairah seksualnya. Seorang perempuan dianggap harus patuh dan mengikuti apa-apa saja yang diinginkan oleh pasangannya.
Dalam beberapa budaya, melakukan sunat ini dianggap mampu menyucikan jiwa seorang perempuan. Sebuah simbol kesetiaan yang akan berakhir pada keberkahan. Akhirnya, banyak perempuan di dunia ini disunat meski kadang mereka tidak bisa menerima dan merasa terpaksa melakukannya.
3. Tidak Semua Perempuan Tahu Telah Disunat
UNICEF pernah melakukan penelitian di Indonesia pada tahun 2013 silam. Data dari penelitian itu mengungkap maraknya praktik sunat perempuan yang ada di Indonesia. Dari sampel di 497 kota di Indonesia, didapat fakta jika nyaris separuh anak perempuan di bawah 12 tahun sudah disunat sejak mereka masih kecil dan tak tahu apa-apa.
Rata-rata gadis muda di Indonesia tidak mengetahui bahwa mereka telah disunat. Padahal masalah sunat seperti ini butuh persetujuan antara orang tua dan anak. Saat masih bayi pemotongan organ vital dilakukan dengan harapan penyembuhan bisa berjalan dengan cepat. Selain itu, kelakuan anak gadis juga diharapkan akan berjalan dengan baik. Indonesia benar-benar dihantui sunat perempuan yang sebenarnya memiliki risiko yang sangat tinggi.
4. Risiko yang Sangat Besar Menanti dan Berefek Selamanya
Pemotongan atau pun mutilasi memang sangat berisiko tinggi. Sunat pada pria pun sebenarnya juga memiliki risiko meski dokter sudah bisa mengatasinya dengan baik. Sunat pada perempuan risikonya lebih tinggi karena metode pemotongannya beragam. Secara umum sunat ini dibagi menjadi empat tipe mulai dari type I hingga type IV.
Risiko yang dialami sangat beragam tergantung dengan prosedur yang digunakan. Namun secara umum, risiko yang bisa dialami oleh perempuan adalah infeksi yang cukup parah, mengganggu perempuan saat akan buang air kecil, merusak siklus menstruasi, rasa sakit yang kronis, hingga gangguan pendarahan saat akan melahirkan bayi. Risiko semacam ini jarang sekali diperhatikan hingga perempuan seperti menyimpan bom waktu yang akan meledak kapan saja.
5. Gangguan Secara Seksual dan Mental
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, metode sunat ini membuat perempuan lebih slow dalam hal seksualitas. Organ yang dipotong adalah organ sensitif yang akan membantu perempuan memenuhi kebutuhan batin. Saat organ itu dipotong, perempuan akan kesusahan merasakan nikmatnya berhubungan badan dengan pasangan hingga sampai kapan pun akan susah terpuaskan.
Saat urusan ranjang tak lagi menjadi bunga pernikahan, perempuan akan mengalami stres. Dia tak merasa bahagia dengan apa yang dilakukan. Saat melakukan hubungan badan, dia akan berpikir bahwa dirinya hanyalah pemuas. Tidak adanya perasaan setara ini bisa membuat hubungan pernikahan terganggu meski tak semua perempuan mau mengungkapkan perasaannya.
Demikianlah sekelumit kengerian dari sunat perempuan yang saat ini masih marak di dunia, bahkan Indonesia. Sunat adalah metode pemotongan yang dampaknya dirasakan selamanya. Jadi, sebelum melakukan praktik seperti ini, kesepakatan-kesepakatan bersama hendaknya dilakukan. Sekali melakukan kesalahan, makan tak akan bisa diperbaiki lagi.