in

Sultan Hamid II, Perancang Lambang Negara Indonesia yang Terlupakan

Sultan Hamid II [Image Source]

Jika ditanya siapakah sosok yang merancang lambang negara Indonesia, mungkin tidak banyak orang Indonesia yang bisa menjawabnya. Sosok di balik lambang Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara kita adalah Sultan Hamid II.

Ia adalah seorang Sultan Pontianak ke-7 yang memiliki jasa besar dalam sejarah Indonesia. Namun juga karena peran besarnya dalam sejarah tersebut namanya seolah dilupakan.

1. Menjabat Sebagai Menteri Negara dalam Kabinet

Saat Indonesia masih berbentuk Republik Indonesia Serikat, Sultan Hamid II pernah menjabat sebagai menteri negara tapi tanpa adanya portofolio. Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta. 11 orang anggota berhaluan Republik, sementara lima anggota lainnya berhaluan Federal.

Sultan Hamid II [Image Source]
Sultan Hamid II [Image Source]
Sultan Hamid termasuk salah satu sosok yang menyokong konsep negara Federal. Saat itu Indonesia terbagi menjadi beberapa negara bagian boneka bentukan Belanda dan Kalimantan Barat akan dipecah menjadi negara baru dengan otonomi khusus. Meski begitu, ia bukanlah sosok yang tidak nasionalis. Ia mendukung pembentukan RIS, namun menolak keinginan pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat menjadi negara bagiannya.

Keinginannya sebenarnya sederhana, yaitu ingin adanya daerah istimewa seperti Kesultanan Yogyakarta. Perjuangannya ini bukan tanpa alasan. Apalagi karena provinsi tersebut juga memiliki banyak kesultanan yang cukup terkenal seperti Kerajaan Pontianak, Mempawah, Sambas, Ngabang, Tayang, Sanggau, Semitau, Sintang, dan Tanjungpura. Namun justru niat baik ini yang akhirnya membuatnya dianggap sebagai dalang pemberontakan.

Sultan Hamid II bersama presiden Soekarno [Image Source]
Sultan Hamid II bersama presiden Soekarno [Image Source]
Jasa lain yang dimilikinya tidak hanya soal perjuangan Federalisme saja. Belanda mau menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada RIS juga sebenarnya berkat kelihaian diplomasi Sultan Hamid II. Ia mampu membujuk Ratu Yuliana yang merupakan Ratu Belanda untuk menyerahkan Indonesia.

2. Merancang Lambang Negara Indonesia

Saat masih menjabat sebagai menteri negara, ia mendapatkan tugas dari Presiden Soekarno untuk merancang lambang negara. Maka selanjutnya ia membentuk sebuah panitia teknis yang diberi nama Panitia Lencana Negara dengan panitia teknis terdiri dari Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka.

Sketsa awal Garuda Pancasila [Image Source]
Sketsa awal Garuda Pancasila [Image Source]
Selanjutnya, dilakukanlah sebuah sayembara untuk membuat lambang negara ini. Dari sayembara tersebut, terpilihlah 2 rancangan terbaik yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Dalam proses selanjutnya, pemerintah dan DPR memilih rancangan Sultan Hamid II. Sementara itu karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang dianggap menampakkan pengaruh Jepang.

Rancangan pertama tersebut burung Garudanya masih tidak berjambul, bertangan dan bahu manusia, serta dengan cengkeraman pita yang masih terbalik. Setelah mendapatkan berbagai saran dan pertimbangan, Sultan Hamid II kemudian kembali mengajukan rancangan Garuda Pancasila seperti yang dipakai hingga sekarang ini.

Gambar akhir lambang Garuda Pancasila [Image Source]
Gambar akhir lambang Garuda Pancasila [Image Source]
Lambang negara Indonesia ini kemudian diperkenalkan untuk pertama kalinya kepada masyarakat umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.

3. Peristiwa Pemberontakan APRA

Pada 22 Januari 1950, kurang lebih 800 orang pasukan KNIL yang dipimpin Westerling menghabisi 60 orang tentara RIS dan menduduki beberapa tempat penting di Bandung. Pemberontakan ini dilakukan karena mereka ingin menggulingkan Republik. Mereka akhirnya berhasil diusir dari Bandung oleh pasukan RIS.

Pemberontakan APRA [Image Source]
Pemberontakan APRA [Image Source]
Empat hari kemudian, Westerling berencana kembali melakukan kudeta di Jakarta. Namun rencana ini bocor sehingga berhasil digagalkan. Pasukan KNIL berencana membunuh beberapa tokoh Republik termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.

Dalam peristiwa itu, Sultan Hamid II dianggap sebagai dalang pemberontakan dan berkonspirasi dengan kapten KNIL, Raymond Westerling. Ia membantah terlibat dalam pemberontakan, tapi pengadilan tetap menyatakan dirinya bersalah sehingga dihukum penjara sepuluh tahun. Sementara Raymond Westerling sendiri yang memimpin pemberontakan sudah kabur dan keluar dari Indonesia tanpa hukuman.

4. Sultan Hamid II Bukan Dalang Pemberontakan

Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II diberhentikan dan ditangkap di Hotel Des Indes dengan tuduhan niatan makar. Meski begitu, ia tidak langsung dibawa ke pengadilan dengan alasan pemerintah sulit menemukan undang-undang untuk mendakwa Sultan Hamid II. Barulah pada 25 Februari 1953 kasus tersebut diperiksa MA.

Sultan Hamid II bersama istri [Image Source]
Sultan Hamid II bersama istrinya yang merupakan wanita Belanda [Image Source]
Pada 8 April 1953, MA mengeluarkan putusan bahwa Sultan Hamid II bersalah tapi hanya berdasarkan “niat”, bukan dengan alat bukti yang cukup. Beberapa pihak menduga bahwa kasus tersebut adalah rekayasa politik untuk membubarkan negara Federal. Maka Sultan Hamid yang merupakan tokoh federal perlu disingkirkan.

Hasil penelitian yang dilakukan Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II, menyebutkan bahwa pemberontakan tersebut tidak dimotori oleh Sultan Hamid II. Ia berpendapat bahwa peradilan saat itu tidak dapat membuktikan dugaan keterlibatan Sultan Hamid, namun ia didakwa bersalah karena opini media massa yang memberitakan tentang kasus tersebut. Akibatnya, ia harus menjalani hukuman penjara 10 tahun.

5. Kembali Ditangkap Atas Tuduhan Makar

Tahun 1958, Sultan Hamid akhirnya dibebaskan dan tidak lagi terlibat dalam politik. Namun, baru empat tahun bebas, ia kembali ditangkap dan ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun pada Maret 1962. Penangkapannya dilakukan atas tuduhan melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi ilegal Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC).

Sultan Hamid II bersama Ida Anak Agung Gde Agung [Image Source]
Sultan Hamid II bersama Ida Anak Agung Gde Agung [Image Source]
Sultan Hamid ditahan selama empat tahun tanpa proses pengadilan dan baru dibebaskan setelah era Soekarno berakhir. Ida Anak Agung Gde Agung menyebutkan bahwa penangkapan tersebut kemungkinan terjadi bukan berdasarkan fakta dan hanya omong kosong belaka. Bisa jadi hal tersebut terjadi hanya karena isu yang ada di sekitar Soekarno karena sejak keluar dari tahanan pada tahun 1958, Sultan Hamid tidak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali.

Hidup pada masa-masa pergolakan politik memang bukan hal yang mudah, apalagi bagi mereka yang memiliki semangat besar untuk memajukan Indonesia. Tentu saja berbagai kelompok dengan persepsinya masing-masing tentang Indonesia muncul. Namun sayang sekali jika tokoh yang berjasa harus dikecilkan peranannya karena dianggap bersalah atau berseberangan dengan mereka yang memimpin.

Written by Tetalogi

Leave a Reply

6 Alasan Kenapa Rhoma Irama Layak untuk Dijadikan Idola dan Panutan

Mukjizat itu Ada! Dua Bocah Ini Buktinya, Selamat Meski Sempat Terlindas Mobil