Di usia kemerdekaannya yang telah menginjak angka 72 tahun, Indonesia seakan tak pernah lepas dari teror semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat yang terus mengintai. Belum lagi kondisi ekonomi naik turun dan tak menentu, membuat jurang kesenjangan sosial antara penduduk miskin dan kaum elite kaya raya semakin lebar.
Agaknya, kemiskinan dan kemelaratan hidup tersebut dirasakan dengan pasti oleh sosok janda yang bernama Sitti ini. Hidup di bawah garis kemiskinan, membuatnya harus rela tinggal di sebuah kolong rumah milik warga. Yang miris, ia juga tinggal bersama sang buah hati yang masih berusia balita. Seperti apa kisah pilu yang dialami oleh ibu Sitti tersebut? Berikut ulasan selengkapnya.
Menjadi tulang punggung keluarga bagi anak semata wayangnya
Sejak sang suami meninggal karena sakit pencernaan yang merenggut nyawanya, Ibu Sitti terpaksa menjadi sosok pengganti yang menjadi tulang punggung keluarga. Semakin lama, hari-hari yang dijalaninya pun semakin terasa berat. Ia harus senantiasa bergerak dan memutar akal, sekedar bisa menjalani hidup dari hari ke hari yang penuh ketidakpastian.
Kematian sang suami yang meninggalkan dirinya, membuat kehidupannya semakin rapuh dan terpuruk dalam jurang kemiskinan. Untuk itulah, dirinya berusaha sekuat tenaga bekerja demi anaknya, meski dirinya juga sering sakit-sakitan. Meski telah bekerja keras membanting tulang, kehidupannya tak jua beranjak menjadi lebih baik.
Kerja keras yang tak dihargai dengan upah yang layak
Untuk Menyambung hidup dirinya beserta sang buah hati, ibu Sitti rela menjadi tukang cuci karung karung terigu. Karung-karung yang telah dicuci tersebut, kemudian dikeringkan dengan cara dijemur. Karung-karung tersebut kemudian disusun sebanyak 10 lembar dan digulung sebelum dimasukkan ke dalam karung berukuran besar.
Untuk satu karung terigu yang dibersihkannya, ia mendapatkan upah Rp 50. Dalam sehari, Sitti yang merupakan warga Dusun Rea Kontara, Desa Rea, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, tersebut, biasa mencuci hingga 100 karung. Itu artinya, dirinya hanya memperoleh penghasilan sebesar Rp 5.000 perhari. Jumlah yang sangat tidak masuk akal di tengah kebutuhan pokok yang semakin mahal.
Tempat tinggal yang tak manusiawi untuk seorang manusia
Selain penghasilannya yang tergolong sangat kecil dan jauh dari kata layak, Sitti juga harus menerima kenyataan pahit dengan tinggal menumpang di kolong rumah milik sebuah warga. Berukuran sekitar 4×5 meter, beralaskan tanah tanpa dilengkapi perabotan sama sekali, Sitti tinggal berselimut derita bersama buah hatinya.
Ketika malam menjelang, Sitti pun harus tidur merebahkan tubuhnya yang sakit-sakitan d beralaskan tanah, yang ditutup selembar plastik. Bersama anaknya yang bernama Ramlah, Sitti berusaha memejamkan matanya, merajut mimpi indah dan khayalan hidup secara layak yang seolah pergi menjauh darinya.
Jerat kemiskinan yang membuat si kecil menderita
Tak cukup sampai disitu, sang buah hati pun harus ikut merasakan derita sebagai akibat dari kemiskinan yang dialami oleh sang ibu. Untuk makan sehari-hari, Ramlah harus puas menyantap menu berupa nasi putih yang dicampur dengan garam. Makanan itulah yang sehari-harinya disantap oleh Ramlah. Yang bikin mengelus dada, Ramlah juga menderita penyakit sulit bicara dan gangguan mental.
Bahkan ketika makan pun, Sitti harus menyorongkan segelas air putih kepada anaknya setiap satu kali suapan makan. Hal tersebut dilakukannya agar Ramlah dapat menelena makanan dengan baik. Terkadang, dirinya bisa memberikan si kecil Ramlah dengan telur atau ikan ketika menerima upah bekerja. Jika gaji yang diterima telat, ia pun terpaksa berpuasa menahan lapar dan haus bersama dengan anaknya.
Bantuan pemerintah yang terpaksa dijual demi kelangsungan hidup
Melihat kondisi Sitti yang sangat memprihatinkan, pemerintah dan warga desa setempat sebenarnya telah memberikan bantuan kepada keluarga Sitti. Bantuan berupa rumah tinggal layak huni tersebut sempat dihuni oleh dirinya dan sang suami. Namun, sejak suaminya meninggal, dirinya terpaksa menjual rumah tersebut.
Terdesak karena kebutuhan ekonomi menjadi alasan bagi Sitti di balik penjualan rumah bantuan tersebut. Tak hanya bantuan berupa rumah tinggal, Sitti juga pernah mendapatkan bantuan pangan berupa raskin dari pemerintah. Semua bantuan tersebut akhirnya berakhir sia-sia dengan keadaan Sitti yang tinggal menumpang di kolong rumah warga hingga saat ini.
Tak pelak, kisah Sitti yang menderita dan tinggal menumpang kolong rumah warga, seakan menampar wajah kita yang selama ini sering mengeluh tentang susahnya menjalani kehidupan. Meski dihimpit dengan kemiskinan dan kekurangan, sosok Sitti tetap tegar menghadapi setiap ujian hidup dengan doa dan kerja keras. Ke depannya, semoga pemerintah Indonesia semakin sadar, bahwa yang namanya kemiskinan, masih menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk di negeri kaya raya ini.