Sejak awal, diangkutnya Nadiem Makariem ke dalam kabinet baru Presiden Jokowi memang menarik perhatian. Ada yang remeh, “Hilih, misih midi (Halah, masih muda, red.)”, ada juga yang menanti-nantikan apakah di tangan eks petinggi GoJek itu biaya sekolah bisa lebih murah dan guru-guru semakin makmur mencari nafkah.
Baru-baru ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem, akhirnya mengumumkan rencana kebijakan baru di antaranya mengganti Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), merombak Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi yang lebih fleksibel, serta pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang melonggarkan ruang gerak guru.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, pengambilan kebijakan ini cukup sesuai dengan situasi masyarakat sekarang yang jauh berubah. Apalagi sistem pendidikan yang lama cukup menggerus kesabaran insan pendidikan, mulai dari guru honorer, wali murid hingga para siswa. Mari kita kaji, benih-benih harapan apa yang terkandung dalam kebijakan baru Mendikbud, untuk masa depan bangsa yang lebih cerah.
Generasi sudah berubah, sistem lama kurang relevan
Sejak era digital semakin populer 5 tahun belakangan, disadari atau tidak, perilaku manusia kita berubah. Gadget, teknologi dan otomatisasi telah amat sangat mempengaruhi kita. Anak sekarang, kadang jauh lebih kritis dibanding orang tua dan gurunya. Terutama generasi muda yang konon di masa mendatang akan mendominasi populasi Indonesia. Harus ada yang mengimbangi situasi ini. Sistem pendidikan lama yang mengutamakan kompetensi akademis berupa nilai dan gelar sarjana, sepertinya sudah tidak cukup lagi.
Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang mencakup literasi (berbahasa), numerasi (berhitung) dan pendidikan karakter ini agaknya memberi harapan bahwa generasi muda kita akan dididik dengan membentuk kualitas dan nalar mereka. Untuk paham, bukan sekedar hafal. Untuk solutif dan inisiatif, bukan sekedar menjalankan apa yang sudah jadi kebiasaan. Dalam bayangan penulis sih, ini tentang menyeimbangkan dan menekan dampak buruk teknologi yang makin pintar, hingga bikin manusia sekarang kerap terpaku pada gadgetnya dibanding peduli dengan sekitarnya. Mudah-mudahan begitu ya, Pak Nadiem.
Fokus pada pembentukan kualitas, bukan sekedar unjuk ranking
Generasi yang tumbuh di jaman orba, pasti tau banget rasanya dibandingkan ranking satu anak dengan yang lain oleh orang tua atau gurunya. Atau diremehkan karena sekolahnya di swasta, bukan di negeri. Jika memang kebijakan ini nantinya tepat guna, semoga berimbas pada budaya menilai keunggulan anak dari ranking dan nilai yang didapatkan. Beralih menjadi melihat, apakah mereka bisa berkembang sesuai potensi masing-masing dengan optimal.
Tidak ada lagi kotak-kotak seperti jaman anak IPA-IPS-Bahasa, atau anak SMA dan STM, karena angka dan ranking tidak lagi sepenuhnya menentukan. Tapi, hal ini pastinya bakal butuh proses dan waktu yang tidak sebentar. Apalagi Indonesia penduduknya banyak dan punya latar belakang bervariasi sehingga nanti tidak bisa disamakan metodenya. Jadi, sabar aja ya.
Hemat biaya untuk kemakmuran pendidikan
Sebenarnya sisi positif ini masih 50:50. Pasalnya sistem baru bisa jadi ikutan merombak biaya baru. Tapi semisal dampak ini bisa terjadi karena UN dan RPP diefisienkan sehingga menghemat biaya pengadaan, dananya bisa dialokasi kepada hal-hal yang lebih positif. Misalnya pengembangan skill guru-guru, peningkatan gaji guru honorer atau penyaluran ke anak-anak putus sekolah dan gedung sekolah yang rawan roboh jika ditiup angin.
Kalau negara mau maju, mestinya alokasi dana pendidikan ini tak terhambat untuk digelontorkan. Yang menjadi permasalahan adalah potensi penilepan-penilepan duit, saat birokrasi yang juga ruwet di negara ini sedang berjalan. Tapi melihat adanya fenomena ‘bersih-bersih BUMN’, semoga diterapkan juga pada aspek lainnya misalnya dunia pendidikan dan kesehatan. Jadi anggarannya bisa tepat guna.
Mengurangi kecemasan orang tua dan siswa
Dengan adanya sistem pendidikan yang baru, kecemasan orang tua setidaknya bisa melonggar, terutama bagi yang kena zonasi. Setidaknya sistem ini juga menipiskan stigma sekolah unggulan dan non unggulan. Hal ini bisa tercapai dengan syarat, sekolah-sekolah tersebut sudah distandarisasi juga. Jangan sampai sudah kena zonasi, sekolahnya jauh, kualitasnya ikut jauh pula. Tentunya ini jadi PR buat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta wilayah-wilayah terkait.
Juga mengenai pelaksanaan UN yang kerap bikin cemas orang tua dan siswa. Selama ini banyak yang kesal dan mudah tertekan karena pendidikan 3-6 tahun bisa kandas karena ujian yang cuma beberapa hari. Dengan metode asesmen pengganti ini, lebih bisa mengedepankan potensi siswa secara individu, serta menekan dampak kecemburuan atau kekecewaan akibat standar pendidikan yang ternyata belum tentu cocok untuk masing-masing kemampuan siswa.
Menghindari kecurangan
Hampir tiap tahun, pendidikan kita dipusingkan dengan kecurangan kunci-kunci jawaban ujian. Jika penentuan kompetensi siswa memang merujuk ke kualitas, kunci jawaban ujian yang sifatnya saklek itu tidak perlu diributkan lagi. Soalnya kan ujian akan diserahkan kepada sekolah masing-masing.
Selain itu, Asesmen Kompetensi Minimum dan Survey Karakter mestinya menggambarkan hasil perorangan, pasti akan berbeda dengan yang lainnya. Mau nyontek juga tidak ada gunanya. Asal yang menguji punya kompetensi di bidang ini, maka hasilnya akan jauh dari bias.
Meskipun merujuk pada kebijakan yang baru, nilai-nilai lama yang masih bisa dipertahankan jangan sampai ditinggalkan. Kita ini tidak hanya maju ke depan, tapi juga menjaga sejarah dan kultur yang membentuk identitas bangsa.
BACA JUGA: 4 Gebrakan yang Akan Dilakukan oleh Nadiem Makarim, Salah Satunya Hapus Ujian Nasional
Yang sudah tidak efisien dibuang, yang bisa dipertahankan diupgrade lagi mengikuti perkembangan. Mudah-mudahan kebijakan pendidikan yang canggih ini bisa diikuti oleh semua elemen dan membangun negara ke arah yang lebih baik.