Sosok pelawak kondang yang tergabung dalam grup Warkop DKI ini ternyata bukan sembarang pelawak. Ya, dia adalah Drs. H. Wahyu Sardono atau lebih akrab disapa Dono. Meski dirinya kini telah tiada, nama dan karya-karyanya masih tetap melambung hingga sekarang. Buktinya saja, salah satu rumah produksi tanah air tengah menggarap ulang film-filmnya yang bertajuk “Warkop DKI Reborn.” Diperankan oleh tiga aktor tampan Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro.
Meski namanya sudah dikenal baik oleh masyarakat Indonesia serta karya-karyanya pun sangat digemari, ada beberapa hal yang menjadi sisi lain seorang Dono. Sebagian kecil dari masyarakat Indonesia mungkin sudah tahu. Namun, untuk sebagian lainnya, berikut akan disajikan ulasan tentang sisi lain Dono yang belum banyak dibicarakan, termasuk ulang tahunnya yang jatuh pada tanggal 30 September ini.
Menjadi Aktivis Peristiwa Malari Ketika Masih Menjadi Mahasiswa
Dono menempuh pendidikannya di Jakarta. Ia mengambil jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) yang sekarang sudah berganti menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Lahir di Solo tidak menghalangi dirinya untuk menuntut pendidikan di ibu kota. Selama menjadi mahasiswa, ia sangat aktif dalam organisasi-organisasi. Salah satunya adalah Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (MAPALA UI)
Dono yang kala itu masih menjadi mahasiswa juga berperan aktif dalam sejumlah perlawanan-perlawanan orde baru. Peristiwa Malari—Malapetaka Lima Belas Januari, atau lebih dikenal sebagai aksi perlawanan pertama terhadap kerasnya orde baru pada tahun 1974, merupakan sebuah tragedi besar yang melibatkan Dono di dalamnya. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh penolakan para mahasiswa terhadap dominasi ekonomi Jepang di Indonesia. Dono bersama rekan sejawatnya Kasino ikut andil dalam mengkritik pemerintah Soeharto kala itu.
Tidak Berhenti, Menjadi Dosen pun Tak Menghalanginya Berpartisipasi Aktif Menegakkan Kebenaran
Setelah lulus kuliah dan sempat bekerja menjadi karikaturis di berbagai surat kabar seperti Tribun dan Salemba, ia akhirnya melabuhkan profesinya sebagai dosen. Tetap mengabdi pada almamater, ia menjadi dosen di jurusan, fakultas, dan kampunya sendiri. Pada tahun 1998, tragedi yang membumi hanguskan kota Jakarta kembali terjadi. Kali ini bertajuk Tragedi Trisakti. Dono, yang sudah menjabat sebagai dosen tetap berdiri menghadang ketidakadilan.
Dilansir dari goodnewsfromindonesia.id, seorang wartawan senior, Budiarto Shambazy, masih ingat bagaimana Dono dengan gagah berani menghadang serbuan tentara ke kampus UAJ atau Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta. Kala itu ratusan mahasiswa yang bersembunyi di UAJ diberondong senjata api selama kurang lebih satu jam dan Dono dengan beraninya mengarahkan selang hydrant kepada pasukan tentara tersebut untuk melindungi mahasiswa yang sedang turun aksi.
Sampaikan Kritik Lewat Karya
Mungkin sudah banyak yang tahu karya-karya Dono bersama Kasino dan Indro merupakan sebuah kritik terhadap Pemerintah pada jamannya. Kalau pada masa itu banyak kalangan berbondong-bondong membuat karya yang mengandung unsur SARA, Warkop DKI mengemas karyanya dengan sentuhan humor. Dono, Kasino, dan Indro pertama kali mengudara di Radio Prambors. Mereka membawakan program Warung Kopi Prambors dan menyampaikan celetukan-celetukan kecilnya terhadap situasi sosial yang mereka hadapi.
Tak lama kemudian, karya-karya mereka bisa dituangkan ke dalam sebuah film. Ada lebih dari 5 film yang berhasil mereka produksi, salah satunya berjudul “Chips.” Film ini menceritakan tentang para aparat yang baik dan jujur, dimana hal tersebut merupakan oposisi dari kondisi yang sebenarnya sedang terjadi. Kata-kata yang masih sering dilontarkan banyak orang dan dikutip dari salah satu film Warkop DKI ini adalah “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.” Frasa tersebut sangat menggambarkan keadaan orde baru yang mana segala sesuatunya kurang bebas dan penuh larangan.
Menulis Karya Sastra dalam Bentuk Novel
Bukti bahwa Dono memang bukan pelawak biasa adalah ia juga menulis novel. Kritikannya tidak hanya disajikan lewat celetukan-celetukan saat siaran di radio maupun film yang digarap bersama kedua rekannya. Ada sekitar 4 novel yang ditulis olehnya; Cemara-Cemara Kampus (1988), Bila Satpam Bercinta (1999), Dua Batang Ilalang (1999), dan Senggol Kiri Senggol Kanan (2009).
Dua Batang Ilalang merupakan novelnya yang laris. Ditulis di sela-sela aktivitasnya menjadi pejuang reformasi ’98, setting dan ide cerita diambil tidak jauh-jauh dari sana. Ia menciptakan karakter utama sebagai mahasiswa yang ikut turun aksi sehingga dikeluarkan dari kampus. Hal-hal yang ia tulis sebenarnya sangat dekat dengan kondisi sosial yang ada sehingga sangat mengena ketika dibaca.
Berhasil Menyekolahkan Putranya Hingga S3
Bagi sebagian orang yang kurang ngeh bahwasanya Dono adalah seorang yang cerdas mungkin akan membandingkan ia dan putranya. Headline-headline yang kerap bermunculan adalah “nasib putra Dono yang tidak seperti bapaknya.” Padahal jika ditilik lagi, kecerdasan putranya pasti hasil turunan dari sang ayah. Putra kedua Dono, Damar Canggih Wicaksono berhasil melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang S3.
Pria 30 tahun ini menyelesaikan S1-nya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan S2-nya di École Polytechnique Federale De Lausanne (EPFL), mengambil jurusan teknik nuklir. Sekarang, ia sedang menjalankan pendidikan strata 3-nya di kampus yang sama di Swiss, memperdalam ilmunya tentang nuklir. Rencananya setelah lulus nanti adalah menjadi dosen seperti sang ayah.
Itulah sisi lain Dono “Warkop” sang pelawak kondang tanah air yang bisa membuat netizen sekalian terkaget-kaget. Pasalnya, fakta-fakta Dono di atas belum banyak muncul ke permukaan. Publik hanya mengetahui sosoknya sebagai seorang yang humoris. Di ulang tahunnya yang ke-50 ini kita doakan saja semoga karya-karya Dono bisa selalu menginspirasi masyarakat Indonesia.