21 Mei 1998, menjadi salah satu tanggal yang tak pernah terlupa untuk bangsa ini. Kala itu sebuah rezim yang bertahan hampir 30 tahun akhirnya harus mengakhiri kiprah panjangnya. Keputusan mundur Soeharto dari kursi RI satu menjadi penanda dimulai tonggak bersejarah baru bernama reformasi. Meski tak berhubungan langsung, namun sepak bola tanah air juga merasakan dampak besarnya.
Bahkan olahraga paling dicintai ini harus rela memberhentikan langkahnya di tengah liga. Kondisi bangsa yang terkendali dan kehilangan sponsor utama menjadi alasannya. Berbagai macam kasus juga menambah hal gila yang terjadi di sepak bola Indonesia di tengah perjuangan rakyat untuk melakukan reformasi 1998. Seperti apakah kisahnya? Simak ulasannya berikut ini.
Kericuhan sepak bola di Medan, Solo dan Surabaya jadi awal
Selain menyerang sendi perekonomian dengan krisis moneternya, sepak bola juga mendapatkan dampak dari aksi masa saat itu. Medan, Solo sampai Surabaya menjadi bukti akan kejadian besar itu. Berbagai pertandingan di kota tersebut harus berakhir ricuh dengan penonton masuk ke lapangan. Bahkan di Surabaya ratusan pendukung Persebaya mengamuk lantaran laga kesebelasan berjuluk Bajol Ijo itu ditunda. Dilansir laman Republik, kondisi tersebut menyebabkan ratusan Bonek mengamuk dan melakukan tindakan negatif, dari mulai memberhentikan truk secara paksa sampai dan terjadi tindakan penjarahan. Klub-klub pun merugi dengan merosotnya pemasukan.
Kompetisi tanah air terpaksa harus dihentikan
Pusaran hitam yang terjadi di daerah yang disebutkan tadi perlahan membesar hingga kompetisi tanah air menemui ajalnya. Pemberhentian kompetisi saat itu dikarenakan kondisi yang tidak kondusif dan pihak Polisi tidak memberikan izin keamanan. Kehilangan sponsor utama Liga menjadi alasan lain kejadian kala itu. Dampak hal tersebut menyebabkan banyak kesebelasan harus batal untuk menggelar pertandingan. Tidak itu saja berbagai klub juga banyak yang merugi lantaran tidak bisa menggelar pertandingan. Hal ini juga menyebabkan para pemain harus rela di tunggak gajinya.
Unsur politik di tengarai menjadi pemetik api kerusuhan
Berbagai macam kerusuhan sepak bola pada bulan Mei 98 banyak dicium ada unsur politik di dalamnya. Menurut ketua PSSI saat itu yakni Azwar Anas, beliau mengatakan apabila, Ada dimensi lain di luar masalah sepak bola dalam kerusuhan tersebut. Tidak hanya, itu Nurdin Halid mantan ketua PSSI juga mengatakan hal senada, “apabila kerusuhan terjadi bukan karena masalah sepak bola, tapi unsur politis yang masuk.”. Hal ini juga menjadi unsur lain kenapa kompetisi saat itu harus dihentikan. Saat dihentikan sudah terjadi 234 laga dan menyisakan 137 pertandingan.
Terbongkarnya kasus suap wasit membuat kompetisi bola tanah air semakin kelam
Selain politik, sepak bola tahun itu juga memunculkan sebuah tabir hitam yang mencoreng kompetisi nasional. Dilansir laman Republika, petinggi wasit Indonesia, yakni Djakfar Umar saat tersangkut kasus suap bersama 40 pengadil lapangan. Uang yang diterima mereka tersebut diduga didapatkan dari petinggi klub sepak bola tanah air. Kondisi tersebut menjadikan kepercayaan kepada wasit sangatlah minim. Tidak hanya itu saja, kondisi tersebut juga kerap memetik api kerusuhan apabila wasit membuat keputusan yang merugikan. Meski suram, namun keberanian ketua PSSI yakni Azwar Anas tetap patut di acungi jempol, lantaran berani memecat semua wasit tersandung masalah tersebut.
Berbagai kejadian ini jelas menjadi bukti dahsyatnya aksi masa saat itu. Meski harus melumpuhkan kompetisi nasional, namun berbagai aksi nakal wasit dapatlah terungkap saat itu. Sekarang kita sudah 20 tahun meninggalkan bulan-bulan mencengkam itu. Menurutmu apakah ada perubahan di sepak bola Indonesia?