Keberadaan sekolah tentu mendapatkan perhatian utama bagi para orang tua. Mulai dari era penjajahan Belanda hingga memasuki abad modern, institusi pendidikan menjadi suatu hal yang penting setelah kebutuhan pokok. Tak banyak diketahui, jika cikal bakal sekolah di Indonesia, merupakan warisan dari sistem pendidikan ala Barat yang diusung oleh Belanda.
Namun sayang, diskriminasi dalam lingkup sekolah merupakan hal yang lumrah terjadi pada saar itu. Antara penduduk pribumi dan warga Belanda, terdapat Gap atau kesenjangan yang cukup lebar. Di tengah kemiskinan rakyat akibat penjajahan, hanya segelintir orang Indonesia yang beruntung mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Kisah kaum minoritas yang terasing di tanah sendiri, akan membuatmu bersyukur lahir dan besar di era modern
Antara Hollandsche Inlandsche School (HIS) dan Europesche Lager School (ELS)
Sekolah dasar di masa penjajahan Belanda, termasuk salah satu bentuk diskriminasi awal dalam dunia pendidikan. Terdapat dua jenis sekolah pada masa itu. Hollandsche Inlandsche School (HIS) dikhususkan bagi anak Indonesia yang orang tuanya mempunyai tingkat ekonomi yang cukup (berpenghasilan 100 gulden atau setara Rp 758.585,84 kurs masa kini). Mereka bisa masuk saat berumur enam tahun.
Kisah mereka yang sempat mencicipi bangku sekolah ala Belanda
Pahlawan Nasional Gatot Subroto, mungkin menjadi salah satu dari sekian ratus juta anak Indonesia yang beruntung bisa bersekolah di ELS. Namun sayang, sebuah insiden perkelahian dengan anak seorang pembesar karesidenan Banyumas, membuat dirinya ditendang keluar. Alhasil, dirinya pun akhirnya harus puas menuntut ilmu hingga lulus di HIS.
Politik nakal Belanda : sama-sama sekolah, tapi beda usia kelulusan
Setelah lulus dari HIS, mereka biasanya akan diarahkan masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara SMP untuk masa waktu tiga tahun. kemudian dilanjutkan ke jenjang Algemeene Middelbare School (AMS) atau SMA selama tiga tahun pula. Perbedaanya hanya tingkat usia kelulusan saja.
Taktik pelambatan kelulusan untuk persempit dunia kerja pribumi
Karena rata-rata mulai bersekolah pada usia tujuh tahun, banyak dari anak pribumi yang akhirnya lulus SMA di usia 22 tahun. Usia mereka yang dinilai telah melewati batas, menjadi taktik Belanda untuk menghambat karier di dunia pekerjaan. Baik di sektor, swasta maupun pemerintahan,
Pilihan karir setelah lulus dari sekolah Belanda
Seperti yang disinggung pada poin pertama, hanya mereka yang bersekolah mulai dari tingkat dasar (ELS atau HIS), menengah (MULO), dan lanjutan atas (AMS) yang bisa berkarir. Di luar itu, jangan harap para kolonial Belanda akan berbaik hati menerima para Inlander atau pribumi. Saking diskriminatifnya, mereka kerap memasang plakat bertuliskan “Verboden voor honden en inlander” atau “Dilarang masuk anjing dan pribumi.” Namun, lain hal bagi mereka yang sempat mengenyam bangku sekolah, pilihan karir tersedia jika berminat.
Kenyataannya, sekolah di masa penjajahan Belanda hanyalah dinikmati segelintir orang Indonesia saja. Itupun harus dari mereka yang kaya raya dan punya posisi di pemerintahan. Terlebih ada larangan masuk bagi anjing dan pribumi. Maka, bersyukurlah kita yag sekolah di era modern ini.