Ibadah haji adalah rukun Islam yang terakhir dan wajib hukumnya bagi umat Islam yang mampu melaksanakannya baik secara keuangan maupun kesehatan jasmani dan rohani. Allah menjanjikan surga bagi hambanya yang melaksanakan ibadah haji dengan mabrur. Jadi, tidak heran jika setiap umat muslim di dunia tentu ingin melaksanakan ibadah haji.
Saat ini proses keberangkatan haji bisa dibilang mudah berkat adanya dukungan pemerintah. Namun, pernahkah kamu membayangkan bagaimana pelaksanaan haji pada masa penjajahan? Ternyata di masa penjajahan, umat muslim yang memiliki keinginan untuk berangkat haji harus memiliki kesabaran ekstra karena campur tangan pemerintah kolonial Belanda.
1. Pandangan Pemerintah Belanda Terhadap Ibadah Haji
Pada masa penjajahan, pemerintah Kolonial Belanda merasa khawatir dengan orang-orang yang pergi haji. Pasalnya saat berada di Mekkah, maka sudah tidak ada lagi kasta, warna kulit, ataupun jabatan sehingga membuat para haji menyadari bahwa semua orang itu memiliki hak yang sama dan bisa memicu pemberontakan.
Belanda mengkhawatirkan dampak politis dari ibadah haji karena orang-orang yang pulang dari ibadah haji diterima sebagai orang suci di Jawa. Karena itulah, para haji diyakini lebih didengarkan oleh penduduk awam lainnya sehingga pemerintah Belanda membuat peraturan ketat yang berhubungan dengan ibadah Haji.
2. Perubahan Peraturan Ibadah Haji dari Tahun 1852 hingga 1831
Menghadapi kondisi umat Islam di Indonesia, tahun 1825 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan yang berhubungan dengan ibadah haji. Dalam peraturan tersebut, jemaah haji dari pulau Jawa diwajibkan membayar 110 gulden untuk mendapatkan izin berangkat haji dan harus berangkat dengan kapal Belanda. Bagi mereka yang tidak mengambil izin akan dikenakan dengan sebesar 1000 gulden.
Uniknya, peraturan ini disampaikan dengan rahasia ke masing-masing residen yang ada. Selain itu tahun 1825 juga menjadi awal mula adanya monopoli keberangkatan haji yang menjadi kepentingan ekonomi pemerintah kolonial Belanda setelah mengetahui bahwa setiap tahunnya jumlah para calon jemaah haji semakin bertambah.
Tahun 1831, peraturan tentang ibadah haji diubah. Calon Jemaah haji yang tidak membayar uang jalan sekembalinya akan dikenakan biaya dua kali lipat. Hal ini karena denda 1000 gulden yang sebelumnya diberikan memang terlalu berat sehingga tidak ada yang mampu membayar serta angka yang ditetapkan juga terkesan mengada-ada.
3. Perubahan Peraturan dari Tahun 1852 hingga 1889
Tahun 1852 peraturan kembali diubah. Surat izin atau paspor haji masih diwajibkan tapi gratis dan tidak ada denda pajak. Namun, Gubernur pemerintah Belanda menginstruksikan pengawasan yang lebih ketat kepada para haji. Gubernur Pesisir Barat Sumatera diharuskan “mengawasi dengan bijaksana tindakan-tindakan para haji pada umumnya dan memberikan laporan yang telah berangkat ke Mekah atau yang telah kembali dari Mekah”. Sikap ini menunjukkan kehati-hatian pemerintah Belanda. Terutama terhadap jemaah haji yang berasal dari daerah rawan pemberontakan.
Tahun 1857, terjadi pemberontakan di India yang menyebabkan kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap jemaah haji. Akhirnya, tahun 1859 dibuatlah peraturan baru yaitu paspor haji yang gratis, calon haji harus membuktikan mereka punya biaya pulang pergi dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan, serta yang terakhir bahwa para jemaah haji yang pulang dari Mekkah akan diuji terlebih dahulu oleh bupati, kepala daerah, atau petugas yang ditunjuk sebelum bisa memakai gelar dan atribut haji. Hanya yang lulus ujian tersebut yang bisa dipanggil sebagai haji atau memakai pakaian haji.
Selanjutnya, tahun 1889 Snouck Hurgronje datang ke Indonesia dan mengkritik tajam kebijaksanaan haji pada tahun 1859. Ia berpendapat bahwa jemaah haji yang datang dari Mekkah tidak perlu dikhawatirkan karena kecil sekali kemungkinannya dipengaruhi ide Pan Islam. Akhirnya, perubahan kembali dilakukan pada 1902 yaitu ketentuan tentang ujian dalam pemakaian gelar dan pakaian haji dihapuskan. Hanya pengawasan terhadap para haji yang diperketat.
4. Kapal Haji dan Karantina Haji
Tahun 1825 orang Nusantara yang melaksanakan ibadah haji untuk pertama kalinya berangkat dengan kapal khusus pengangkut jemaah haji yang disediakan oleh Syaikh Umar Bugis. Mengetahui banyaknya jemaah haji setiap tahunnya, Inggris ikut melakukan bisnis pengangkutan haji. Begitu pula dengan orang Arab yang ada di Batavia.
Sebelumnya para jemaah haji naik kapal layar, namun kemudian mereka menggunakan kapal uap sejak orang Inggris dan Arab ikut meluangkan bisnis pengangkutan jemaah haji ini. Sampai akhirnya pemerintah kolonial Belanda mewajibkan para jemaah haji untuk berangkat menggunakan kapal milik Belanda.
Tahun 1911, Pulau Onrust yang terletak di Kepulauan Seribu digunakan sebagai tempat karantina haji hingga pada tahun 1933. Para calon haji dibiasakan dulu dengan udara laut karena perjalanan menuju tanah suci bisa mencapai waktu berbulan-bulan. Pulau ini juga menjadi tempat karantina bagi mereka yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji.
Menunaikan ibadah haji pada masa penjajahan tentu lebih sulit dengan batasan-batasan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Perubahan-perubahan peraturan tersebut memang ditujukan untuk membatasi gerak para cendekiawan Islam. Pemerintah kolonial khawatir para haji inilah yang nantinya memicu pemberontakan terhadap para penjajah. Sejarah ternyata juga menunjukkan bahwa haji yang pulang berkontribusi untuk kemerdekaan tanah air dalam melawan penjajah.