Halal bi halal nampaknya telah mendarah daging pada masyarakat Indonesia. Menariknya, kegiatan ini lazim dilakukan setelah perayaan Idul Fitri ini. Di mana setelah momen saling maaf-maafan, sungkeman dan silaturahmi, barulah halal bi halal dilaksanakan. Menariknya, ada banyak cerita sejarah tentang terbentuknya tradisi yang satu ini.
Meski dianggap oleh sebagian kalangan umat Islam sesuatu yang baru (Bid’ah), toh tradisi ini tetap langgeng dari zaman ke zaman. Tak hanya dilakukan oleh masyarakat jelata, para pejabat negeri ini pun sering mengadakannya. Baik di kediaman pribadi maupun tempat lainnya. Konon, halal bi halal juga menjadi alat politik yang bertujuan untuk mempersatukan Indonesia lho Sahabat Boombastis. Benarkah demikian? Simak ringkasan sejarah berikut ini.
Tradisi yang datang dari seorang Kyai Nahdlatul Ulama
K.H. Wahab Chasbullah merupakan penggagas dari tradisi halal bi halal di Indonesia. Dalam perjalanannya, kegiatan ini ternyata mempunyai tujuan penting. Yaitu menyelamatkan bangsa Indonesia dari perpecahan. Saat itu, kondisi Indonesia sangat tidak menentu karena perpecahan di kalangan elite politiknya. Kondisi ini tentu sangat berbahaya dan berpotensi mengancam keutuhan bangsa. Hingga akhirnya, majulah K.H. Wahab Chasbullah menghadap Presiden Soekarno dengan gagasan halal bihalal-nya.
Istilah Halal bi halal dicetuskan seorang pedagang martabak asal India
Salah satu perspektif sejarah lainnya datang dari Sunarto Prawirosujanto yang lahir pada 1927. Pria yang pernah menjabat dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan itu, menceritakan asal muasal halal bi halal yang dimuat dalam biografinya, Rintisan Pembangunan Farmasi Indonesia. Diceritakan, ada seorang pedagang martabak asal India yang sedang berjualan. Untuk menarik perhatian, ia biasa berteriak ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’ berulang-ulang. Dari situlah asal kata halal bi halal berasal.
Kata halal bi halal yang terdapat dalam kamus Jawa-Belanda
Menurut Sunarto, istilah halal bi halal ternyata sudah dimuat ke dalam kamus Jawa-Belanda oleh Dr. Th. Pigeaud terbitan tahun 1938. Setelah diselidiki, upaya penyusunan kos kata tersebut telah dilakukan pada 1926, di mana kegiatan itu diinstruksikan langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1925. Dilansir dari historia.id, Pada huruf A dapat ditemukan kata “alal behalal”: “de complimenten (gaan, komen) maken (vergiffenis voor fouten vragen aan ouderen of meerderen na de Vasten (Lebaran, Javaans Nieuwjaar) vgb. Artinya “dengan salam (datang, pergi) untuk (memohon maaf atas kesalahan kepada orang lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (Lebaran, Taun Baru Jawa).”
Sebuah budaya yang hanya ada di Indonesia
Indonesia yang mempunyai jumlah umat muslim terbesar di dunia, ternyata membawa banyak tradisi baru yang sejatinya tidak pernah ada dalam lingkup keislaman. Salah satunya adalah Halal bi Halal. Menurut Fathoni Ahmad yang dilansir dari nu.co.id, istilah penamaan dari kegiatan tersebut sejatinya memang berciri khas lokal Indonesia yang tidak ada di negara muslim lainnya. Dalam Al-Qur’an maupun Hadist sendiri, kata-kata halal bi halal memang tidak pernah disebutkan.
Esensi halal bi halal yang menyatukan umat
Dari segi bahasa, halal bi halal mengambil dari bahasa Arab yang diserap dari kata halla atau halala. Maknanya yaitu menyelesaikan masalah dan kesulitan atau mencairkan suasana, dan melepaskan ikatan yang membelenggu. Mudahnya, halal bi halal menjadi ajang kumpul-kumpul antar warga Indonesia sebagai bagian dari menyambung tali silaturahmi yang juga diajarkan oleh agama.
Meski banyak perdebatan dan pertentangan di sana-sini, toh halal bi halal masih eksis di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Selain sebagai ajang silaturahmi, kegiatan ini dinilai bisa menjadi warisan budaya Indonesia yang luhur. Di mana tujuan utamanya adalah menyatukan berbagai bentuk perbedaan. Luar biasa ya Sahabat Boombastis.