Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh dunia menjalankan Rukun Islam yang terakhir di Tanah Suci. Mereka semua menjalankan ibadah haji untuk menyempurnakan Islamnya dan kembali ke Tanah Air dalam keadaan yang lebih baik baik dari segi keislaman maupun segala tindak tanduk-tanduknya.
Ngomong-ngomong masalah ibadah haji, pernahkah Anda bertanya kenapa harus ada gelar di depan nama seorang yang habis pulang haji. Jika tidak menggunakan gelar itu, apakah hajinya jadi tidak sempurna? Lantas, dari mana datangnya gelar haji yang selalu identik dengan “kebesaran” itu datang? Yuk, kita simak penjelasannya di bawah ini.
Perihal Pemberian Gelar Haji di Indonesia dan Malaysia
Satu hal yang harus kita tahu, gelar haji di depan nama hanya ada di Indonesia dan juga Malaysia. Di belahan bumi mana pun seperti negara kawasan Timur Tengah seperti Mesir, Iran, Qatar, bahkan Arab Saudi sekali pun tidak memberikan gelar “haji” di depan nama orang yang menuntaskan Rukun Islam ke-5 itu.
Tradisi pemberian gelar nama juga tidak ada pada zaman Rasulullah. Di kala itu, beliau dan para sahabat-sahabatnya tidak menyematkan gelar kehajiannya di depan nama. Bagi mereka, melakukan haji adalah sebuah kewajiban (bagi yang mampu), sehingga tidak perlu ada gelar-gelaran seperti yang terjadi di Indonesia dan Malaysia.
Gelar Haji Adalah Konspirasi Belanda
Banyak dari kita tidak tahu bahwa gelar haji adalah konspirasi orang-orang Belanda di masa penjajahan. Gelar ini pertama kali disematkan pada tahun 1900-an. Hal ini dilakukan Belanda karena orang Islam di masa itu sangatlah berbahaya. Mereka takut jika para petinggi yang memiliki gelar haji ini bisa mengumpulkan massa lalu menyerang Belanda secara diam-diam.
Di masa itu, orang yang sudah memiliki gelar haji adalah Hasyim Asyari yang akhirnya mendirikan Nahdlatul Ulama, lalu HOS Cokroaminoto yang akhirnya mendirikan Sarekat Islam, dan masih banyak lagi para tokoh yang sudah berangkat haji dan pulang menjadi seorang pejuang. Mereka menyebarkan Islam juga memberantas para penjajah seperti Belanda.
Pendataan Para Haji untuk Kewaspadaan
Seperti yang telah dicuplik di atas, gelar haji diberikan oleh Belanda kepada para tokoh yang dianggap berbahaya. Pemberian gelar ini akan membuat para tokoh terdata dengan jelas. Siapa saja dengan gelar haji bisa diamati dengan baik setiap harinya sehingga Belanda tidak akan pernah mengalami apa yang namanya kecolongan dalam hal pertarungan.
Sebelum pemberian gelar ini dilakukan, Belanda sudah beberapa kali mendapatkan serangan dari tokoh Islam yang cukup membuat mereka kerepotan. Mereka sebenarnya sudah berangkat haji, namun tidak memiliki gelar itu di depan namanya. Hal ini membuat Belanda kerap kebingungan sehingga mereka banyak mengalami kematian pada pasukan dan stok senjatanya menipis. Oh ya, tokoh Islam yang juga pernah berhaji namun tidak bergelar haji adalah Pangeran Diponegoro yang sangat dibenci Belanda.
Isolasi, Pendataan, dan Pembunuhan Haji
Dahulu kala, perjalanan ibadah haji hanya bisa dilaksanakan dengan kapal laut saja. Selama berbulan-bulam, para calon jemaah melakukan perjalanan sehingga saat pulang kerap mengalami sakit yang cukup parah. Saat Belanda masih menguasai Indonesia, para jemaah yang kembali haru masuk ke pulau Onrust terlebih dahulu. Di sana ada rumah sakit untuk mengarantina mereka.
Selain untuk karantina, mereka juga didata secara mendetail di sini. Mereka yang dianggap mencurigakan akan diam-diam dibunuh dengan suntikan mati. Merek yang tidak berbahaya akan dibiarkan hidup bersama titel haji di depan namanya. Dengan adanya titel ini, Belanda kan dengan mudah mengawasi mereka dari kejauhan.
Gelar haji sebenarnya bukanlah sesuatu yang vital seusai mengunjungi Tanah Suci. Dalam Islam juga tidak ada dalil untuk pemberian gelar itu. Selain itu, pemberian gelar haji dikhawatirkan bisa menimbulkan adanya rasa lebih berkuasa atau rasa lebih islami dibanding mereka yang belum menunaikan rukun kelima dari Islam itu.