Kisah Ayah dan Keluarga di Jawa
Setelah ayah dari Mbah Sarijo bekerja di Suriname, ibu yang sudah bercerai dengan ayahnya meninggal dunia. Keadaan ini membuat ayahnya yang bernama Moeljoredjo mengalami kesedihan yang mendalam. Dia takut kalau anak perempuannya tidak bisa hidup dengan baik setelah mantan istrinya meninggal dunia.
Mengetahui keadaan ini, dia memberikan lagi uang sebesar 100 gulden kepada Belanda dengan maksud mendapatkan tumpangan untuk bisa kembali ke Jawa. Sayangnya, meski uang telah dikembalikan, mereka tidak juga dikembalikan ke Jawa. Uang 100 gulden sangatlah banyak di kala itu di mana gaji harian yang diterima pekerja hanya beberapa ratus sen saja.
Tetap Tinggal di Suriname Meski Sebatang Kara
Setelah ayah dan ibunya meninggal dunia, Mbah Sarijo sempat menikah meski tidak dikaruniai anak. Setelah istrinya meninggal 20 tahun yang lalu, praktis beliau sama sekali tidak memiliki siapa-siapa. Beliau hidup sebatang kara sendirian di Moengo di usianya yang sudah semakin senja pada angka 96 tahun.
Meski hidup sendirian dan setiap hari harus mengelola kebun pisang di dekat rumahnya, Mbah Sarijo hidup dengan bahagia. Beliau mengaku kalau tidak mau kembali lagi ke Jawa meski ada kesempatan. Keluarga yang ada di Jawa sudah pasti tidak mengenalnya sehingga lebih baik tetap di Suriname hingga kelak Tuhan memanggilnya untuk menghadap.
Demikianlah kisah tentang Mbah Sarijo yang menjadi saksi hidup terakhir dari gelombang migrasi ke Suriname. Saat ini beliau hidup dengan bahagia meski sebatang kara di negeri lain yang jauh dari Jawa dan Indonesia.