Kami berlima seperti gank yang tidak bisa terpisahkan. Aldi, Awor, Janet, Sissy serta aku Meil. Bersahabat dari SMA kami sudah melewati segalanya. Kami pernah cabut sekolah bersama-sama demi menonton film terbaru. Kami pernah bertengkar hebat karena Aldi tidak mau berhenti merokok. Ibu Meil pernah meneleponku saat Meil bilang tidak mau melanjutkan kuliah.
Dari awal kami berteman aku seperti anak kucing hilang yang lebih sering terlihat sendirian. Tidak sedikit orang yang menyangka ada 2 pasangan dalam persahabatan kami. Aldi yang maskulin sering dikira berpacaran dengan Sissy yang menggemaskan. Awor yang lebih halus disangka jatuh hati pada Janet yang sedikit tomboy. Sementara aku? Jomblo menahun yang belum juga sembuh.
Mereka tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Keempat sahabatku memang saling mencintai. Plot twist-nya jenis kelamin kedua pasangan itu tidak berbeda. Ini ceritaku, Meil, heteroseksual yang bergaul dekat dengan gay dan lesbian.
Sahabat lesbianku selalu disangka hanya berteman dekat. Terlalu dekat
Janet dan Sissy terbiasa pergi ke mana bersama-sama. Mereka selalu bilang kalau mereka bersyukur bisa tinggal di Indonesia. Kebanyakan orang cukup mudah dikelabui saat ada sepasang cewek menggemaskan yang berpegangan tangan.
Karena hanya dianggap berteman dekat Janet dan Sissy tidak pernah rikuh mengekspresikan perasaan di depan umum. Melihat mereka sedikit berpelukan di kedai kopi adalah hal biasa. Bahkan tidak jarang aku dengar ada orang yang berkata, “Cute ya…” saat melihat kedekatan mereka.
Soal kontak fisik kedua sahabat gayku harus lebih menjaga diri. Mereka mudah disudutkan karena ini
Aldi dan Awor yang sudah mulai dekat sejak masih SMA harus diakui punya kemampuan akting level dewa. Sudah hampir 7 tahun mereka terbiasa membatasi interaksi di depan orang banyak. Jarang sekali aku melihat Aldi memegang pundak Awor dengan gestur yang hangat. Awor juga tidak pernah menyelipkan tangannya ke lengan Aldi saat mereka berjalan bersisian.
“Capek gue dikatain banci…”, ujar Awor padaku. Stigma banci yang lenje-lenje memang mudah sekali datang saat mereka mengekspresikan perasaan lewat gerakan tubuh yang berlebihan. Karena itu hanya di depanku dan teman-teman terdekat lainnya mereka bisa terlihat seperti pasangan pada umumnya. Sisanya mereka hanya terlihat seperti teman biasa,
Aku tidak merasa ‘kotor’ karena sering keluar dengan mereka. Seperti orang kebanyakan mereka juga tahu norma
Beberapa teman bertanya padaku, “Lu nggak diajakin macam-macam kan sama mereka?” Setelah tahu preferensi seksual sahabat-sahabat terbaikku. Aku langsung bisa membayangkan apa yang bergejolak di otak mereka.
Diajak mencoba melakukan hubungan seksual sesama jenis, diajak mencoba narkoba dan minum beer atau wine, dikenalkan pada teman-teman komunitas gay dan lesbian jadi tebakan yang paling sering muncul.
Padahal seperti orang yang gila Gundam, kamu tidak melulu harus mempengaruhi teman-temanmu untuk menyukainya juga. Sehari-hari hidupku berjalan lurus dan normal-normal saja. Yang beda hanya pemandangan di depan mataku. Awor tidak memeluk Janet tapi malah memegang tangan Aldi. Definisi normalku sedikit berbeda karena ini.
“Kenalin ke gue dulu!” kata Aldi dan Awor setiap ada pria yang mendekatiku
Konon gay selalu punya radarnya sendiri. Karena itu Aldi dan Awor kekeuh memintaku mengenalkan mereka pada cowok yang mendekatiku.
“Dia bisa nggak lurus nih. Udah mendingan lu ikhlasin aja daripada nanti nyesel harus saingan sama lakik…”
Hidupku dengan teman-teman pecinta sesama jenis memang unik sekali. Satu yang kupahami, preferensi ini tidak menular. Selamanya aku tidak akan tertular.