Rohingya adalah salah satu suku beragama Islam yang tinggal di kawasan Myanmar. Kisruh antara Islam dan Buddha di negeri ini membuat Muslim Rohingya akhirnya terusir dan tak bisa tinggal di negeri tempat mereka lahir dan besar. Pemerintah setempat terutama warga Buddha menganggap mereka alien yang tidak pantas tinggal di wilayah Myanmar.
Akhirnya, gelombang pengungsian dari orang Rohingya dimulai. Mereka mulai hijrah ke negara-negara Muslim untuk mencari suaka. Mereka tidak bisa tinggal di negeri yang telah mengusirnya Kembali ke Myanmar barangkali sama halnya dengan setor nyawa. Terlebih di bulan Ramadan yang diagungkan oleh semua Muslim di dunia.
Oh ya, inilah kisah Ramadan dari suara Muslim kita yang terbuang. Semoga bisa memberi pelajaran untuk kita semua.
Krisis dan Pengusiran dari Negeri
Krisis pengungsian Rohingya di tahun 2015 lalu menjadi isu global. Banyak negara mengutuk perlakukan Myanmar yang melakukan diskriminasi besar-besaran kepada Muslim Rohingya. Mereka mengusir, membakar tempat ibadah, merusak perkampungan hingga menyerang pengungsian dari para Muslim Rohingya yang tak rela meninggalkan tanah kelahirannya.
Mereka yang tak tahan lagi dengan perlakuan negerinya akhirnya kabur dan mencari suaka ke berbagai negara Islam. Dengan kapal seadanya mereka menjelajahi lautan dengan minum makanan dan minuman. Selama perjalanan ini, banyak orang Rohingya yang akhirnya meninggal di atas perahu. Mereka memperjuangkan keislaman yang telah tumbuh dengan nyawa sebagai taruhannya.
Menjalani Puasa di Negara Lain
Seperti halnya Muslim Uyghur yang dilarang berpuasa. Muslim Rohingya juga mendapatkan tentangan itu. Segala bentuk aktivitas agama Islam dilarang. Kalau orang Rohingya tetap melakukan ibadah mereka akan dilukai, bahkan kematian pun bisa di dapat dengan cara yang sangat mengerikan. Berpuasa di negeri itu adalah sesuatu yang sangat mustahil.
Akhirnya, banyak dari para Rohingya yang berharap bisa melaksanakan puasa di negeri para sahabat Muslim. Mereka hijrah menuju Malaysia, dan Indonesia untuk diterima dengan baik. Mereka tidak menginginkan apa-apa. Hanya tempat tinggal dan dibiarkan menjalankan ibadahnya tanpa perlu gangguan. Meski di tengah situasi yang sangat buruk, mereka masih ingin berpuasa bagaimana pun caranya.
Rasa Sedih yang Tak Terperi
Berpuasa di negeri orang sangatlah menyedihkan. Seharusnya bulan Ramadan dihabiskan dengan keluarga selama sebulan punuh. Sayangnya, untuk melakukan itu, para Muslim Rohingya harus berhadapan dengan para penguasa di Myanmar yang dikenal sangat kejam dengan para Muslim. Mereka tidak pandang bulu dan akan melakukan tindakan mengerikan jika Muslim Rohingya tetap berpuasa.
Mau tidak mau Muslim Rohingya tetap harus menjalankan puasa di negeri orang. Mereka sudah cukup bahagia ada saudara Muslim yang menampung mereka. Bahkan, orang-orang di kawasan Aceh sudah menganggap para Muslim Rohingnya seperti saudaranya sendiri. Muslim, dari mana pun asalnya tetaplah saudara yang harus diperlakukan dengan sangat baik.
Masakan Orang Tua yang Nyaris Terlupa
Ramadan selalu identik dengan iftar atau prosesi berbuka puasa. Biasanya orang tua terutama ibu akan memasakkan apa saja yang disukai keluarga. Lalu, saat bedug Magrib tiba, semua orang akan makan bersama-sama. Muslim di Rohingya merasakan sakitnya tak bisa makan makanan keluarga, mereka makan dari apa yang diberikan di pengungsian.
Pemerintah Myanmar yang terus mempersulit mereka membuat pada Muslim Rohingya tak bisa berkumpul dengan keluarga. Bahkan, kapan kembali dan merayakan Idul Fitri bersama pun masih tak bisa dilakukan. Orang Rohingya hanya bisa bertahan dan menghadapi semaunya hingga kelak negeri mereka mau menerima para Muslim Rohingya untuk kembali.
Beginilah suasana Ramadan yang dialami oleh para Muslim Rohingya. Kita harus bersyukur masih bisa menjalani Ramadan dengan keluarga dan tanpa dilarang-larang.