Kisruh perusakan acara sedekah laut yang diselenggarakan di Pantai Baru, Ngentak, Poncosari, Srandakan, Bantul, DIY, memantik reaksi banyak pihak. Banyak yang beranggapan bahwa hal tersebut dilakukan sebagai sarana untuk mengucapkan syukur dan lainnya. Tapi, ada juga pihak yang keberatan dengan diadakannya acara itu karena tidak sesuai dengan norma-norma dalam kepercayaan agama.
Tak urung, Bupati Bantul, Suharsono hingga Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini ikut angkat suara mengenai acara tersebut. Dilansir dari detik.com, mereka mengomentari bahwa peristiwa itu merupakan bentuk pelanggaran hukum dan bisa dikenai tindak pidana. Meski demikian, masyarakat Indonesia memang tidak bisa terpisahkan dari adat atau ritual yang telah dilakukan oleh para pendahulu mereka di Nusantara. Kenapa bisa demikian?
Faktor turun temurun
Memang, ritual adat yang berlaku hingga hari ini, merupakan warisan turun temurun yang dilakukan oleh para nenek moyang di Indonesia. Dilansir dari regional.kompas.com, ritual adat seperti sedekah laut di atas merupakan bentuk dari masyarakat Jawa dalam mengucapkan syukur. Tak jarang, mereka menyelipkan tradisi sodakohan atau sedekahan bagi orang Jawa yang telah memeluk agama Islam. Dari situlah, akulturasi antara sisi religius dan kearifan budaya lokal perlahan mulai berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Melestarikan warisan dari nenek moyang
Setiap suku bangsa yang diciptakan di dunia, pasti membawa ritme adat dan ritual budayanya masing-masing. Hal semacam ini banyak di temui di Indonesia. Di mana masyarakatnya masih memegang teguh apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Meski telah memeluk suatu kepercayaan, tak jarang mereka masih melakukan kegiatan-kegiatan yang memang tidak diajarkan dalam agama yang dianut. Hal ini tentu masih menjadi polemik di Indonesia. Di mana kultur masyarakatnya terbelah menjadi dua kubu. Antara menerima dengan baik dan menolak karena tidak sesuai.
Menjaga persatuan masyarakat
Indonesia sebagai negara dengan kemajemukan masyarakatnya, memang rentan dipecah belah karena perbedaan pandangan soal adat dan budaya yang ada. Sejatinya, suatu budaya yang dipertahankan oleh masyarakat, merupakan refleksi dari bentuk persatuan yang kokoh di tengah-tengah mereka. Merasa satu adat dan berasal dari suku yang sama. Dilansir dari merdeka.com, Direktur Ketahanan Ekonomi, Sosial dan Budaya Ditjen Polpum, Lutfi TMA mengatakan, hal tersebut dapat menjadi pemersatu yang kokoh jika rakyatnya memiliki rasa bangga yang kuat terhadap kebudayaannya masing-masing.
Budaya yang bisa menjadi daya tarik tersendiri
Dalam prakteknya, pertunjukan adat atau ritual budaya ternyata memuat banyak aspek pada masyarakat. Selain sebagai upaya untuk melestarikan warisan nenek moyang, acara semacam itu juga menjadi daya tarik wisata yang bermuatan ekonomis. Dilansir dari travel.kompas.com, upacara atau ritual adat bisa menjadi salah satu trademark bagi kota yang menyelenggarakan acara tersebut. Sebagai contoh, acara peringatan satu suro menjadi daya tarik bagi wisatawan asing maupun luar kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Imbasnya, rangkaian cara tersebut meningkatkan kunjungan wisata dan transaksi jual beli oleh para pedagang. Itulah sebabnya, ritual budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Menjadi bukti nyata dari nilai-nilai Pancasila
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku dan budaya di dalamnya, merupakan perwujudan nyata dari Pancasila yang menjadi ideologi negara. Dengan menerima perbedaan yang ada, secara tidak langsung kita telah menghayati falsafah dari landasan negara itu sendiri. Tak heran jika masyarakat di Indonesia tetap memegang teguh adat dan tradisi dari daerah asalnya sebagai wujud pengamalan terhadap Pancasila. Meski ada beberapa yang tak setuju, alangkah baiknya jika dibicarakan dari hati-ke hati. Bukan mengarah pada tindakan anarkis yang justru dapat memperpecah kesatuan bangsa.
Toleransi menghargai keragaman, memang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Syaratnya harus melalui komunikasi secara tepat, efektif dan bersifat solutif. Hal ini bertujuan sebagai menjadi jembatan penghubung, antara mereka yang pro dan kontra seperti peristiwa pengrusakan Sedekah Laut di atas. Awas, jangan asal bicara saat mengajukan usul. Sebaliknya, sebuah usulan haruslah berbobot dan tidak asal-asalan.