Seperti Jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa Timur dengan Pulau Madura, Bali juga diwacanakan akan mengalami hal yang serupa. Gagasan untuk menyambung wilayah 1000 pura dengan Pulau Jawa itu dikemukakan oleh Bupati Banyuwangi, Azwar Anaz. Sayang, proyek tersebut ternyata menuai penolakan dari masyarakat Bali.
Bukan hanya mengejar pembangunan semata, keberadaan Jembatan tersebut juga dinilai tidak sesuai dengan adat dan dianggap menabrak kultur yang selama ini dipegang erat oleh warga Bali. Pro kontra pun mulai bermunculan ke ruang publik, mewarnai gagasan besar yang masih dalam angan-angan tersebut.
Jembatan perekat dua pulau yang telah digagas sejak lama
Dalam rencana strategisnya, pembangunan Jembatan Selat Bali ternyata telah digagas sejak lama. Dilansir dari id.wikipedia.org, infrastruktur penyambung itu telah dikonsep oleh Prof. Dr.(HC) Ir. Sedyatmo (alm), seorang guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1960 disebut dengan nama Tri Nusa Bimasakti. Makna penamaan itu sendiri merujuk pada terbukanya akses yang menjadi penghubung antara tiga pulau, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Tujuan dibangunnya Jembatan Selat Bali
Beranjak di era modern, rencana pembangunan Jembatan Selat Bali tak hanya sekedar untuk akses transportasi. Lebih dari itu, proyek tersebut dicanangkan untuk memudahkan publik dalam mengakses jalur menuju Bali. Seperti yang dikutip dari laman beritasatu.com, keberadaan Jembatan Selat Bali bertujuan untuk melancarkan arus barang dan orang, agar tidak terjebak antrean panjang di Pelabuhan Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Ketapang-Gilimanuk.
Mendapat penolakan dari masyarakat Bali
Menurut laman kabarnusa.com, Gede Pasek Suardika yang merupakan tokoh muda Bali yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, ikut bersuara menunjukan penolakannya pada rencana tersebut. Bersandar pada zaman Resi Sidhimantra, terpisahnya Pulau Bali dan Jawa itu, sarat akan makna. Bukan hanya soal kultur budaya dan kearifan lokal semata, pembangunan jembatan juga dinilai tidak menghormati kesucian agama Hindu yang merupakan mayoritas di Pulau Bali.
Rencana pembangunan yang bertentangan nilai-nilai kearifan lokal
Besarnya ombak Selat Bali yang kadang-kadang terjadi, bakal membuat konstruksi Jembatan Selat Bali pasti akan lebih tinggi dari perairan dan daratan di sekitarnya. Menurut Sekretaris PHDI Banyuwangi, Suminto yang dikutip dari nasional.tempo.co, terdapat kepercayaan dalam agama Hindu bahwa bangunan maupun posisi manusia tidak boleh lebih tinggi dari Padmasana, yakni tempat bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu. Terlebih, banyak warga sekitar Selat Bali yang membuat Padmasana untuk keperluan ibadah.
Keuntungan bagi mereka yang pro pembangunan Jembatan Selat Bali
Selain menyambungkan dua pulau yang berbeda, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mempunyai alasan di balik pembangunan Jembatan Selat Bali. Laman regional.kompas.com menuliskan, selain mengurai kemacetan pada saat hari raya, kapal yang tidak beroperasi atau cuaca buruk serta saat libur panjang, keberadaan proyek itu juga berdampak positif bagi perekonomian dua pulau tersebut. Salah satunya adalah pariwisata. “Saya yakin jika jembatan tersebut jadi maka perekonomian dua daerah semakin membaik termasuk mendorong perkembangan industri dan pariwisata dua wilayah,” ujarnya yang dikutip dari regional.kompas.com.
BACA JUGA: Pecalang, Polisi Adat Bali yang Nggak Digaji Tapi Bekerja Sepenuh Hati
Karena masih menuai polemik, ada baiknya jika pembangunan infrastruktur seperti Jembatan Selat Bali juga melihat beragam aspek. Salah satunya dengan memperhatikan adat istiadat setempat. Jangan sampai ketika dipaksakan agar cepat terealisasi, malah menimbulkan konflik yang justru merugikan di kemudian hari.