Usai sudah rencana Indonesia melakukan akuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dilansir dari tirto.id, PT Inalum selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk pemerintah, resmi menguasai mayoritas saham perusahaan pertambangan asal AS itu.
Meski demikian, kabar gembira tersebut belum tentu menguntungkan Indonesia sepenuhnya. Ada beberapa hal yang justru berpotensi membuat pemerintah merugi di masa depan. Selain diterpa isu lingkungan, ada banyak faktor yang membuat keberadaan Freeport bisa merugikan Indonesia.
Bakal menelan investasi besar setiap tahunnya yang ditanggung pemerintah
Setelah berhasil mengakuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia, pemerintah bakal mengeluarkan investasi untuk pengelolaan tambang bawah tanah Grasberg pada tahun ini hingga 2023 sebesar US$ 1,1 – 1,4 miliar per tahun. Dilansir dari bisnis.tempo.co, dana tersebut sempat telat sebelum rampungnya proses divestasi selesai. Sedangkan tambang bawah tanah Grasberg yang bakal dikelola oleh pemerintah RI belum berproduksi.
Isu pembangunan smelter
Selain beban dana yang dikeluarkan per tahunnya untuk mengelola tambang, pembangunan smelter untuk kepentingan peningkatan kinerja perusahaan dinilai masih minim. Laman cnnindonesia.com menuliskan, berdasarkan laporan surveyor yang diterima Kementerian ESDM, hingga akhir Agustus, perkembangan pembangunan smelter perusahaan asal Amerika Serikat ini baru 4,938 persen. Terlebih, Inalum masuk menjadi pemegang saham mayoritas Freeport Indonesia, bakal menanggung beban pembangunan smelter yang lebih besar. Sesuai taksiran perusahaan, dibutuhkan biaya sampai dengan US$2 miliar atau setara Rp28,759 triliun (Kurs Rp14.379 per dolar AS) untuk membangunnya.
Dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan Freeport
Isu kerusakan lingkungan bakal menjadi salah satu ‘pekerjaan rumah’ yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Hasil analisis Institut Pertanian Bogor (IPB) 1998-1990 dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada 2015-2016 yang telah diangkat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengatakan, Indonesia kehilangan nilai jasa ekosistem sebesar Rp185, 018 triliun akibat limbah residu Freeport Indonesia. Jika terus menerus dibiarkan, tentu dampaknya akan semakin meluas dan berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Limbah yang belum tertangani secara maksimal
Pengelolaan limbah yang belum dilakukan secara maskimal, juga menjadi PR besar pemerintah bersama PT Freeport Indonesia. Laman cnnindonesia.com menuliskan, tidak mampu mengelola Limbah Bahan Beracun Berbahaya (Limbah B3) berupa tailing di daerah penimbunan Ajkwa atau Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) di Kabupaten Mimika, Papua. Utamanya jika mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kepmen LHK) Nomor 175/2018. Alhasil, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tetap mendesak korporasi tersebut menyelesaikan kajian terkait ekosistem dan manajemen penanganan limbah tambang selama 8 bulan.
Teknologi pertambangan Indonesia yang kurang mumpuni untuk mengelola Freeport
Pekerjaan besar lainnya yang tak kalah penting adalah soal kemampuan teknologi Indonesia dalam pengelolaan tambang. Terlebih perusahaan sekelas Freeport yang memiliki kompleksitas tinggi. Menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan yang dikutip dari ekbis.sindonews.com, ia meragukan kemampuan dalam negeri untuk mengelola sendiri tambang Grasberg di Papua. Salah satu caranya adalah, perlu dilakukan transisi secara bertahap apabila Indonesia menginginkan mengolah hasil Freeport pada 2021.
BACA JUGA: Balada Freeport, Gunung Emas Nusantara yang Malah Membuat Rakyatnya Semakin Miskin
Memang, keberhasilan pemerintah menguasai 51 persen saham Freeport merupakan sebuah prestasi tersendiri. Namun, tindakan tersebut seharusnya diimbangi dengan langkah-langkah strategis untuk mengelola Freeport. Agar tambang milik bangsa tersebut bisa mendatangkan keuntungan dan kemakmuran bagi masyarakat. Bukan malah menjadi beban di masa yang akan datang.