50 Tahun terakhir Jepang jadi raksasa yang mencengkeram dunia. Tak hanya lewat penjajahan yang harus berakhir dengan menyakitkan, tapi juga melalui deretan produk-produknya yang sukses jadi barang wajib semua orang. Entah itu otomotif, lebih-lebih barang elektronik. Namun, akhir-akhir ini sangat terasa kemunduran mereka. Utamanya di perusahaan-perusahaan elektronik.
Kini Jepang tak lagi superior di dunia. Ada kompetitor yang mulai show up dan pelan-pelan melumat Nippon. Di ranah produk elektronik, sebut saja Samsung atau LG yang mulai mengguncang kegagahan Toshiba, Sharp, Panasonic, dan Sanyo. Belum lagi, Apple juga makin menenggelamkan perusahaan device digital Jepang seperti Sony. Kini, hanya orang-orang fanatis saja yang masih menggunakan produk-produk Jepang. Sedangkan yang lainnya berbondong-bondong menggunakan produk Korea bahkan China yang dibanderol lebih murah dan juga dari sisi fungsionalitas yang lebih baik.
Sepertinya hanya tinggal tunggu waktu saja sampai deretan perusahaan elektronik kebanggaan Jepang tersebut hanya tinggal nama. Tanda-tandanya pun sebenarnya sudah nampak. Sharp sudah menutup divisi Aquos-nya, Panasonic dan Sony mengatakan mereka rugi triliunan rupiah beberapa waktu terakhir. Bahkan dua perusahaan ini sudah memecat ribuan karyawannya untuk mengurangi pengeluaran.
Sebenarnya ada apa? Bukannya mereka sangat mendunia bahkan eksis lebih dari setengah abad? Ternyata alasannya bukanlah sesuatu yang besar. Berikut beberapa hal yang ternyata membuat mereka bagai kurcaci di tengah-tengah perusahaan besar dunia.
1. Mempertahankan Budaya Perusahaan yang Salah
Perusahaan Jepang terkenal dengan budaya harmoni dan konsensus yang kental. Konsensus di sini adalah memutuskan apa pun sesuai dengan kesepakatan orang banyak. Sebenarnya tak ada yang salah, namun ketika apa pun dilakukan dengan berbasis kepada konsensus, maka banyak waktu produktif yang habis terbuang.
Diambil dari berbagai narasumber, dikatakan jika perusahaan Jepang bisa rapat berminggu-minggu hanya untuk memutuskan produk yang bakal diluncurkan. Ketika selesai, mereka pun terbengong-bengong dengan produk-produk kompetitor yang justru meluncurkan barang-barang yang satu level di atas mereka.
Era seperti sekarang ini teknologi tengah berkembang sangat pesat. Tidak bisa membuang-buang waktu hanya untuk memutuskan satu atau dua hal. Lantaran tetap mempertahankan hal-hal seperti ini, perusahaan Jepang pun jarang melakukan inovasi. Mungkin pernah, hanya saja si kompetitor sudah melakukannya beberapa waktu sebelum perusahaan Jepang mengaplikasikannya. Buktinya sendiri bisa kamu saksikan. Produk-produk Jepang mayoritas kalah inovasi dibandingkan yang lainnya bahkan China sekalipun.
2. Senioritas Masih Dipertahankan
Era teknologi tak pernah berjalan lama berjalan di tempat, yang pasti akan terus bergulir waktu demi waktu. Siapa pun yang bisa ikut arus bahkan menjadi orang terdepan, maka ia yang akan unggul. Tak peduli apakah usianya masih sangat belia. Jepang? Sayangnya hal tersebut tidak pernah mereka lakukan.
Perusahaan Jepang hingga detik ini masih saja memegang kuat budaya senioritas. Coba cek sendiri, hampir tidak ada anak muda yang jadi Manager atau berada di posisi top management. Paling mentok mereka hanya jadi kepala divisi. Alasannya? Di Jepang sendiri merupakan hal yang tabu bagi para pemuda untuk berada di posisi setara atau lebih tinggi dari pada seniornya.
Alhasil, jajaran orang-orang penting perusahaan hanya diisi oleh orang-orang tua saja. Padahal soal prestasi mereka tidak lebih pandai dari mereka yang muda. Arus modernitas yang kuat membuat orang-orang tua kadang tidak bisa mengikutinya. Anak-anak muda Jepang kreatif luar biasa dan bisa berkontribusi. Sayangnya, budaya ini memupuskan mereka untuk bisa membuat perusahaan Jepang kembali bersaing ketat di puncak. Budaya sangat hormat dan sungkan juga hal yang sangat lumrah di Jepang. Hal ini juga membunuh banyak sekali inovasi-inovasi hebat anak muda gara-gara merasa tidak enak kepada para senior di perusahaan.
3. Mindset yang Tua Haruslah Jadi Pemimpin dan Demografi
Mark Zuckerberg, dan sederet penggagas inovasi di berbagai perusahaan lain rata-rata masih sangat muda. Efek dari kemudaan ini mereka lebih aware terhadap perubahan, apapun itu lebih-lebih soal teknologi. Sayangnya Jepang sulit untuk bisa seperti hal ini. Hingga akibatnya mereka mati inovasi.
Hampir rata-rata penduduk Jepang berusia tua. Hal ini pun berpengaruh kepada jajaran staf di perusahaan yang rata-rata dihuni oleh mereka yang sudah tidak segar lagi. Dampaknya ya tadi, mereka tidak peka terhadap perubahan. Serta masih menjunjung kebiasaan lama yang malah membuat perusahaan tidak bisa bersaing.
Tua sebenarnya tak masalah asal pemikiran mereka sanggup mengimbangi tajamnya inovasi para pemuda. Sayangnya, usia sangat berpengaruh terhadap hal tersebut. Sehingga secara kasar bisa disimpulakn jika staff yang tua sudah tidak bisa diandalkan lagi soal inovasi dan sebagainya.
Sebenarnya Jepang sendiri sudah punya nama. Bahkan beberapa barang identik dengan nama perusahaan-perusahaan negeri matahari terbit. Sayangnya, mereka mungkin akan tinggal nama dalam waktu dekat jika masih saja mempertahankan hal-hal seperti di atas. Teknologi makin berkembang pesat, artinya sudah saatnya para muda yang bicara.
Senioritas memang perlu sebagai pendidikan moral sosial di perusahaan, namun jangan sampai hal tersebut jadi batasan sehingga menghambat pertumbuhan perusahaan. Jepang jadi bukti nyata akan budaya perusahaan yang salah, maka cukuplah pelajaran bagi kita untuk tidak melakukan hal yang serupa.