Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kalimat enam huruf ini mungkin pendek tapi implementasinya sangatlah luas. Tak hanya soal kedudukan di mata hukum dan ekonomi, tapi juga masalah pendidikan. Indonesia bisa dibilang tidak terlalu adil soal pendidikan ini. Ya, bandingkan sekolah-sekolah di Ibu kota dengan yang ada di pelosok Indonesia timur sana. Miris!
Maka kemudian muncul wacana untuk mengirimkan para pahlawan tanda jasa alias guru agar pendidikan di daerah pelosok bisa setara. Atau paling tidak mendekati lah. Namun demikian, misi untuk membuat pendidikan di daerah terpencil menjadi maju, tak semudah yang kita kita. Ya, jangan bayangkan susahnya jadi guru di kota yang harus berjibaku dengan macetnya jalan, atau murid-murid nakal yang suka seenaknya sendiri. Guru-guru di pedalaman mungkin mempertaruhkan nyawa mereka.
Sudah saatnya Indonesia tahu jika perjuangan guru di pedalaman sangat berat. Berikut adalah sebagian kecil dari perjuangan para guru di pedalaman yang bakal bikin kita bangga sekaligus terenyuh.
1. Cerita Guru Muda di Pedalaman Sumba Timur
Ervan adalah seorang guru muda asal Malang yang terketuk hatinya untuk mengajar di Pedalaman. Mengikuti program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan daerah tertinggal, pria satu ini mendapatkan tempat mengajar di pedalaman Sumba Timur. Dari sini cerita perjuangan heroiknya dimulai.
Ya, Ervan benar-benar harus berjuang banyak di SD Masehi Billa tempatnya mengajar. Ada bejibun tantangan yang harus dihadapinya. Ia harus hidup prihatin dengan menempati salah satu ruang perpus untuk tempatnya tinggal, belum lagi ketika sakit ia harus menempuh perjalanan 6 jam untuk ke puskesmas.
Yang paling menyesakkan tentu saja ia tak bisa berkabar dengan sanak keluarganya lantaran hampir tak ada sinyal. Untungnya, Ervan adalah anak muda tangguh yang niatnya benar-benar tulus. Kepala sekolah SD Masehi Billa, Banja Anaawa, sampai mengatakan jika kehadirannya benar-benar sebuah berkah.
2. Kisah Guru Yogya Tuntaskan Buta Huruf di Desa Terpencil Papua
Pemuda ini bernama Saraban, mahasiswa lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang dengan semangat ingin menunjukkan aksi nyata kepeduliannya dengan berangkat ke Desa Oklip, Papua. Di desa yang berbatasan dengan Papua Nugini itu, Saraban mengajar sebuah SMP yang membuatnya seperti ingin menangis. Ya, ini jauh dari apa yang dikiranya.
Bukan tentang bagaimana kesulitan hidupnya nanti, tapi melihat kondisi sekolah yang seperti ala kadarnya. Bukti jika daerah tertinggal memang selalu disepelekan. Meskipun demikian, hal tersebut tak menyurutkan langkahnya untuk masuk kelas dan mengajar anak-anak SMP yang menurutnya juga belum terlalu bisa baca dan tulis.
Saraban tahu jika ini akan berat, namun niat baik dari awalnya sudah kuat hingga akhirnya ia bisa bertahan. Di sana, hidupnya juga tak terlalu memperihatinkan kecuali tidak adanya listrik dalam waktu yang lama.
3. Novianti Islahniah, Guru Tangguh Asal Bandung Untuk Masyarakat Akoja, Aceh
Ibu Bandung, begitu Novianti biasa dipanggil murid-muridnya. Ya, guru muda ini memang berasal dari Bandung yang diperbantukan ke sebuah desa terpencil di Aceh bernama Akoja. Sama seperti rekan-rekannya yang lain, menjadi guru di pedalaman memang takkan pernah mudah.
Novianti mungkin beruntung lantaran infrastruktur di sini sudah lumayan bagus. Namun, tetap saja butuh perjuangan ekstra. Misalnya ia harus mengarungi sungai untuk menuju tempatnya mengajar. Tempatnya mengajar juga rawan bencana, misalnya banjir. Ya, jika banjir datang maka sekolah otomatis libur dan warga lebih memilih untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.
Meskipun begitu, sambutan hangat serta melihat mata anak-anak didiknya yang berbinar ketika ke sekolah mampu meluluhkan hati Novianti untuk setia. Setia mengajar mereka untuk mendapatkan mimpi yang lebih layak.
4. Cerita Miris Guru Bantu di Pedalaman Gorontalo
Apa jadinya jika seorang guru yang sukses mencerdaskan putra bangsa malah tidak mampu menyekolahkan anaknya sendiri? Nasib ini dialami oleh seorang wanita bernama Sri Utami yang menjadi guru bantu di Boalemo, Gorontalo. Ya, menjadi guru bantu apalagi di daerah terpencil, ia pun tak bisa berharap banyak pada gaji bulanannya.
Bukan hanya tidak sanggup menyekolahkan sang anak, hidup Sri sendiri juga serba kekurangan. Namun begitu, satu hal yang membuatnya lebih kaya secara hakikat dari orang lain. Ya, semangatnya untuk menjadi guru di daerah tertinggal itu. Walaupun untuk menuju sekolah saja ia melewati dua bukit plus dua anak sungai pula.
Sudah hampir 10 tahun ia menjadi guru bantu, namun nasibnya tak kunjung membaik. Harapan menjadi PNS pun sirna dengan umurnya yang sudah tak muda lagi. Namun demikian, ia tetap ingin menjadikan murid didiknya lebih baik. Bahkan meskipun ia terenyuh melihat anaknya yang justru tak sekolah.
5. Kisah Agustinus, Perjuangan Guru Tanpa Tunjangan
Melewati sungai-sungai mungkin bagi kita jadi hiburan unik dan asyik, namun bagi pria bernama Agustinus ini, hal tersebut adalah rutinitasnya sehari-hari. Ya, setiap hari ia harus melewati sungai yang airnya sangat deras itu untuk bisa mengajar di sekolah tercintanya di SND20 Landau Bunga, di daerah pedalam Melawi.
Butuh setidaknya dua jam untuk pergi ke sekolah, termasuk melewati sungai deras tersebut. Tak cuma itu saja tantangannya, Hidup Agustinus juga sebuah ujian tersendiri. Ya, sebagai guru di daerah pedalaman ia mendapatkan gaji yang sedikit sekali. Padahal barang-barang di sana harganya mahal. Alhasil, ia harus hidup sangat bersajaha.
Sempat ia mengandalkan janji tunjangan dari pemerintah, namun sampai kini tak terealisasi. Tak peduli lagi dengan janji pemerintah, ia pun tetap mengajar dengan hati. Demi anak didiknya agar bisa mendapatkan nasib yang lebih baik. Setidaknya mampu menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
6. Ketika Tentara Juga Terketuk Hatinya Untuk Mengajar
Seorang guru yang terketuk hatinya untuk mengajar di pedalaman mungkin hal yang lumrah. Mengingat basis profesi mereka memang seperti itu, namun tentara? Hal ini tentu saja sangat unik dan menarik. Ya, beberapa tentara kita yang ada di daerah-daerah terpencil mengusung dua misi penting. Mengamankan kedaulatan juga meningkatkan taraf pendidikan anak-anak setempat dengan mengajar.
Tak banyak bedanya antara para guru dan tentara dalam mengajar. Para tentara ini mampu untuk berkomunikasi dengan baik tanpa perlu main bentak seperti di kesatuan. Bahkan bisa membawa kelas lebih aktif dan hidup. Mereka guru hanya saja berseragam tentara, itu saja bedanya.
Kagum, tapi juga ironis melihat para tentara ini. Jumlah guru di kota sangat melimpah menurut daftar statistik setempat. Tapi, tak banyak hatinya yang terketuk untuk mengajar di tempat-tempat seperti ini. Hingga akhirnya tentara sampai diberdayakan agar anak-anak di pedalaman masih bisa mengenyam asyiknya bersekolah.
Salut dan apresiasi luar biasa patut diberikan kepada orang-orang hebat ini. Mereka dengan ikhlas mendedikasikan dirinya untuk mengajarkan ilmu kepada anak-anak pedalaman yang tak semua orang mau melakukannya. Kepedulian mereka, serta sikap rela berkorban itu jadi hal yang mungkin takkan pernah bisa dinilai termasuk oleh tunjangan yang jarang-jarang terbayarkan itu.
Selamat Hari Guru, semoga mereka tetap akan membimbing putra-putri bangsa meraih cita-citanya dan membanggakan negara. Satu harapan pula agar para guru terutama yang berjuang di pelosok-pelosok Indonesia mampu mendapatkan apresiasi setimpal atas apa yang dilakukannya.