Tragedi 1965 dianggap sebagai salah satu kejahatan genosida paling mengerikan dalam sejarah dunia. Meski begitu, pemerintah tampaknya belum mau membuka ke publik tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Benarkah para jenderal itu diculik oleh Gerwani? Benarkah Gerwani menyiksa para jenderal sambil menari tanpa sehelai pakaian pun??
Sayangnya, semua informasi itu masih ditutup-tutupi sampai sekarang. Dan entah kapan akan dibuka seterang-terangnya ke masyarakat. Untuk itu, berikut adalah beberapa kesaksisan eks tapol perempuan dalam tragedi 1965, yang telah dirangkum secara apik dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65 karya Ita F. Nadia.
1. Rusminah, Istri Aktivis PKI
Dalam buku berjudul Suara Perempuan Korban Tragedi ’65, Ita F. Nadia yang dikenal sebagai aktivis HAM dan perempuan menggambarkan bagaimana kejamnya penyiksaan yang diterima oleh Bu Rusminah, yang notabenenya hanyalah seorang ibu rumah tangga, yang kebetulan saja saat itu suaminya aktif di organisasi komunis.
Setiap malam, Rusminah diperintahkan menuju pos penjagaan untuk memijat para tentara yang kebagian jatah piket malam. Tentu saja yang dimaksud bukan cuma memijat, melainkan memuaskan kebutuhan ragawi para penjaga. Saking banyaknya tentara yang harus dia layani, Rusminah bahkan tidak bisa mengingat satu-persatu wajah mereka.
2. Partini, Mantan Anggota Gerwani
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menjadi salah satu bagian penting dalam tragedi 1965. Pada Kup 1 Oktober 1965, organisasi perempuan ini dituduh menyiksa dan membunuh para jenderal. Namun, benarkah itu yang terjadi di lapangan? Partini, seorang mantan anggota Gerwani, telah menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dan teman-temannya yang lain selama tragedi itu.
Bersama perempuan-perempuan lain yang ikut ditahan dengannya, Partini mengaku sering mendapatkan perlakuan tak senonoh, seperti dipukul hingga dilecehkan dengan tidak patut secara bergiliran. Padahal saat itu dia dalam kondisi baru saja melahirkan, sehingga tentunya masih mengalami pendarahan. Namun, para tentara itu sekakan tak peduli dengan kondisi Partini yang lemah. Mereka malah asyik menidurinya secara bergiliran setiap malam, meski kala itu Partini terus mengeluarkan darah.
3. Yanti, Mantan Anggota Pemuda Rakyat
Kesaksian Yanti telah membuat masyarakat marah pada semua orang yang berkaitan dengan PKI. Namun, sebuah fakta mencengangkan kemudian terkuak setelah pengakuan Yanti yang terjadi pada tahun 1965 silam. Ketika ditangkap, Yanti baru berusia 14 tahun.
Di luar kegiatan sekolah, Yanti mengaku masuk ormas pemuda, yakni Pemuda Rakyat. Lalu pada suatu hari, seorang teman mengajaknya ikut latihan sukarelawan di kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur. Latihan itu merupakan jawaban untuk perintah Presiden Soekarno yang menyerukan Ganyang Malaysia.
Selama ditahan, Yanti dan perempuan lainnya sering menerima perlakuan biadab, seperti digauli beramai-ramai, disetrum dalam kondisi tanpa sehelai benangpun, serta dipukuli. Seakan siksaan itu belum cukup, Yanti bahkan dipaksa mengatakan “iya” untuk setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh wartawan.
4. Maryati, Mantan Anggota Gerwani
Maryati bukan cuma korban, namun juga saksi mata kekejaman tragedi 1965. Dia yang sedari muda sudah aktif Gerwani, lalu menikah dengan seorang pria yang tercatat sebagai anggota PKI di Solo. Keduanya hidup bahagia, sampai suatu hari Maryati ditangkap paksa dan dibawa ke kamp Ambarawa.
Bahkan pernah suatu malam, Maryati dipaksa ‘melayani’ 12 orang sekaligus. Alhasil, dia pun sempat tak sadarkan diri. Belum lagi, jatah makan yang diberikan kepada para tahanan sangat tidak layak. Selama ditahan, Maryati hanya diberi beberapa sendok nasi, sepotong tempe, dan sayur yang mau basi. Sebagian besar yang masih hidup di penjara dapat bertahan dengan mengandalkan makanan kiriman dari keluarga mereka.
5. Sukarti, Mantan Anggota Pemuda Rakyat
Sukarti adalah salah satu mantan anggota Pemuda Rakyat di Malang. Namun setelah menikah, dia ikut pindah ke Medan bersama suaminya, yang seorang aktivis serikat buruh. Tak jarang, Sukarti juga ikut dalam rapat-rapat yang dihadiri oleh suaminya. Hingga kemudian dia pun sering terlibat dalam kegiatan Gerwani. Meski begitu, Sukarti bukanlah anggota Gerwani.
Kemudian saat tragedi 1965 meletus, Sukarti yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang penculikan para jenderal, tiba-tiba dikepung di rumahnya. Para pemuda itu tidak hanya mengobrak-abrik rumahnya, namun juga melampiaskan nafsu mereka secara bergiliran. Seakan kurang puas atas tindakan itu, mereka kemudian mengarak tubuh Sukarti yang masih dalam telanjang, menuju kantor polisi.
Setelah dipaksa melihat perilaku biadab itu, suami Sukarti juga diperintahkan untuk menggauli istrinya di depan para tentara tersebut. Tentu saja, dia tidak mau, hingga akhirnya mereka berdua disiksa sampai berdarah-darah. Karena pemerkosaan yang berulang itu, Sukarti bahkan sempat hamil sebanyak dua kali.
Terlepas dari apa pun alasan yang hendak dipakai untuk membenarkan penangkapan mereka, sejatinya keadilan harus ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Jangan asal tangkap, kemudian dibui tanpa melalui proses hukum.