Lagi-lagi, karya anak bangsa ditolak di negeri sendiri. Entah ini sudah yang ke berapa kali semenjak cendekiawan bangsa mengajukan proposalnya dalam kompetisi dalam negeri atau sekedar meminta pendanaan kepada pemerintah terhadap karyanya yang brilian, namun ditolak mentah-mentah oleh Indonesia sehingga mereka pun ‘menjualnya’ ke negeri seberang.
Hal ini juga dialami oleh siswa SMAN 8 Yogyakarta, Christoper Kusuma. Namun, dirinya mengaku tak menyimpan dendam meski sudah berkali-kali mencoba, malah dengan lantang ia menyatakan mungkin ada yang masih salah dari penelitiannya. Simak kisah Christoper, seorang brilian yang masih belia namun tak dihargai bangsa ini.
Penemuan yang Berawal dari Hal Sepele: Game
Di kalangan remaja zaman now tak jarang kita menemui mereka yang mengaku sebagai gamers ulung. Jangankan anak SMA saja, bahkan mahasiswa ataupun kalangan pekerja pun banyak yang mendaulatkan dirinya sebagai pemain game. Begitupun Christoper Farrel Milenio Kusuma ini.
Dilansir dari kompas.com, pada suatu hari dirinya sedang akan mengunduh sebuah game yang sangat ingin dimainkannya. Namun, seperti problema kita pada umunya, download pun terhalang oleh kuota yang terbatas. Christoper pun memutar otak bagaimana caranya mengecilkan ukuran game tersebut agar bisa diunduh dan dimainkan. Penemuannya tidak disangka-sangka!
Jika Ditotal Sudah 11 Kali Ditolak Indonesia
Christoper pun akhirnya mencari-cari literatur tentang data compression atau pemampatan data. Ia mengaku bahwa di Indonesia juga belum ada yang melakukan riset tentang hal tersebut, padahal menurutnya pemampatan data sangat menguntungkan bagi banyak kalangan. Contohnya saja hal sederhana yang akan dilakukan Christoper tadi, yaitu mengunduh game.
Ia lalu mencoba menyempurnakan temuannya dalam sebuah proposal. Jika ditotal sudah lebih dari sekali ia mengirimkan proposal penelitiannya tersebut, dalam ajang lomba antar regional maupun nasional. Namun, ia telah ditolak sejumlah berapa kali penelitian tersebut telah ia kirimkan.
Introspeksi Diri dan Tidak Menyalahkan Panitia
Hal ini sangat jarang terjadi di Indonesia. Yang kita tahu, biasanya mereka gembar-gembor dan merasa kesal jika karyanya tidak diterima oleh bangsa sendiri dan akhirnya memutuskan untuk mengirimkannya ke luar negeri.
Berbeda dengan Christoper, ia mengungkapkan pada kompas.com bahwa penelitiannya yang berjudul Data Compression Using EG and Neural Network Algorithm for Loseless Data ini mungkin terlalu rumit sehingga banyak yang kurang mengerti. Ia pun mengaku bahwa akan memperbaiki penelitiannya yang sudah ia kerjakan selama satu tahun tersebut. Agar lebih banyak lagi kalangan yang bisa lebih mengerti apa yang ia presentasikan.
Dilirik bahkan Dipuja oleh Google
Christoper mengamalkan pengalaman yang telah dijalani oleh Thomas Alva Edison. “Edison saja 1.000 kali gagal, mosok saya yang baru 11 kali sudah menyerah,” ujarnya. Pantang menyerahnya pun membuahkan hasil ketika ia melihat pengumuman tentang kompetisi penelitian yang diadakan oleh Google.
Setelah dinyatakan lolos seleksi berkas, dirinya masih harus melewati tahap wawancara hingga akhirnya bisa dipanggil ke kantor Google di Amerika Serikat. Awalnya ia mengaku kebingungan masalah uang saku serta transport. Beruntung ada sponsor yang baik hati sehingga visa dan transport pun ditanganinya dalam sekejap.
Filosofi Hidup yang Kuat
Menjadi orang Jawa mungkin mengajari Christoper akan filosofi hidup yang berharga. Ia pun menerapkan pelajaran itu. Menurutnya, filosofi hidupnya yaitu 5T; takon, teken, teteg, tekun, tekan, harus diilhami oleh semua kalangan.
Buktinya saja dirinya yang mengamalkan ajaran tersebut bisa mencapai tahap yang sungguh luar biasa, dibandingkan kita yang belum seberapa ini. Ia pun mengaku bahwa tujuan penelitiannya ini bukan untuk pamer, tapi agar masyarakat luas bisa terbantu dengan problema kuota yang sering mereka hadapi sekarang.
Di balik figurnya yang cerdas, ternyata ada filosofi hidup tradisional yang kental. Mungkin, jika Christoper tidak mengilhami dan mengamalkannya, ia tak bisa mencapai tahapan ini dengan mudah. Hal tersebut dikarenakan bahwa pada dasarnya, kehidupan duniawi dan metafisik itu harus seimbang, jika tidak ya susah untuk mencapai hal-hal yang diinginkan.