Bagi sebagian orang, lulus kuliah S1 aja nggak cukup. Ada ambisi untuk terus menuntut ilmu dan melakukan penelitian. Untuk memenuhi ambisinya tersebut, mereka memutuskan untuk lanjut kuliah pascasarjana baik S2 maupun S3.
Orang lain mungkin menganggap mahasiswa pascasarjana sebagai makhluk yang tengah menikmati kemewahan. Sudah pintar, masa depan terjamin pula. Tapi siapa sangka, untuk melalui tahun-tahun kuliah, ada berbagai penderitaan yang harus mereka alami.
Walaupun sks yang harus ditempuh mahasiswa pascasarjana lebih sedikit dibanding S1, tapi jangan harap tugas yang harus dikerjakan juga lebih sedikit. Faktanya, meski beban dalam satu semester cuma 15 sks, tapi waktu untuk menyelesaikan tugas dari dosen bisa seperti mengemban 45 sks. Selain itu, mahasiswa juga diharuskan selalu tahu fenomena terkini baik dari dalam dan luar negeri, baik dari situs website maupun jurnal penelitian. Di sela-sela mengerjakan tugas, mereka harus meluangkan waktu untuk membaca portal berita, majalah, dan jurnal.
Mengenai berpikir kritis, semestinya mahasiswa S1 juga harus punya kemampuan ini. Tapi biasanya dosen tidak menuntut banyak karena memang mereka masih muda dan sedang dalam tahap belajar. Tapi di pascasarjana, mahasiswa wajib untuk memiliki pikiran yang kritis dan skeptis. Tidak ada yang boleh diam saja dan mengangguk-angguk setiap kali dosen atau mahasiswa lain berbicara. Di setiap kelas, harus ada sesi diskusi dan semua mahasiswa diharuskan aktif berpartisipasi.
Kalau kamu menganggap skripsi itu beban hidup yang berat banget, maka kamu harus kasih aplaus buat mahasiswa pascasarjana yang berani menerima tantangan untuk membuat tesis dan disertasi. Di semester satu saja, mahasiswa pascasarjana sudah harus merencanakan penelitian apa yang akan mereka buat. Beda banget ya sama S1 yang baru mikirin skripsi di semester lima atau enam.
Mahasiswa S2 dan S3 pastinya sudah berumur di atas 20 tahun. Biasanya teman-teman sebayanya sudah bekerja dan mandiri. Sementara mereka masih bergantung pada orang tua baik untuk biaya kuliah yang sangat mahal dan untuk uang saku. Meski orang tua ikhlas-ikhlas saja membantu anaknya menuntut ilmu, tapi mau tidak mau mereka pasti sungkan juga. Apalagi jika sepupu-sepupu sudah pamer sepeda motor atau mobil baru yang ia beli sendiri.
Beberapa mahasiswa ada juga yang tidak mau bergantung pada orang tua, apalagi untuk yang tengah menempuh program doktoral. Mereka memilih membayar kuliah dan hidup dengan uang sendiri. Kerja sambil kuliah, itulah yang mereka lakukan. Di antara waktu mengerjakan tugas, mereka harus menyelesaikan pekerjaan mereka juga. Sudah bisa dipastikan kalau penderitaan mereka dua kali lipat lebih parah.
Nggak sedikit mahasiswa pascasarjana yang putus kuliah karena memutuskan untuk menikah dan ikut suami/istrinya pindah ke kota lain. Maklum, usia mereka sudah pas banget untuk memulai hidup berumah tangga. Berbeda dengan mahasiswa S1 yang masih bisa menunggu lulus, mahasiswa pascasarjana takut terlalu tua untuk menunda-nunda pernikahan.
Mahasiswa S1 mungkin berat juga perjalanan pendidikannya, tapi percayalah, itu nggak ada apa-apanya dengan level S2. Selain karena tugas-tugas maha berat tadi, banyak hal lain yang bikin penat pikiran. Tapi, pada akhirnya mahasiswa pasca sarjana bakal sangat bangga dengan gelar mereka yang ada di level ‘Master’.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…