Momen religius seperti hara raya kurban atau Idul Adha, ternyata membawa pengalaman pahit bagi seorang Ir. Sukarno. Harapan menikmati nikmatnya ibadah tersebut, harus buyar lantaran terjadinya sebuah insiden pembunuhan yang ditujukan pada sang proklamator itu. Beruntung, nyawa bung besar akhirnya tak jadi melayang setelah upaya sang algojo berhasil digagalkan oleh sejumlah orang.
Meski telah dikelilingi oleh barisan-barisan pasukan militer yang dikenal dengan kemampuannya, toh Sukarno akhirnya kecolongan juga. Sejumlah tembakan pun meletus, sesaat setelah sebuah teriakan takbir dikumandangkan di sela-sela jamaah shalat Idul Adha. Alhasil, acara pun bubar seketika. Sepasukan militer kian sibuk antara berjibaku antara mengamankan Sukarno dan menangkap pelaku. Horor pun masih berlanjut saat itu.
Bung Karno bersiap menunaikan ibadah Shalat Idul Adha
Saat mengetahui Sukarno akan melaksanakan shalat Idul Adha, sejumlah persiapan pun dilakukan demi lancarnya acara. Dilansir dari tirto.id, Ajun Komisaris besar Polisi (AKBP) Mangil Martowidjojo, melakukan inspeksi ke sejumlah tempat, yakni lapangan antara Istana Merdeka dengan Istana Negara.
Semua sudut diperiksa secara ketat dan teliti. Ia pun merencanakan enam pos, yang masing-masingnya ditempati dua pengawal presiden dengan bersenjatakan Senapan AR-15 (versi sipil M-16). Persiapan saat itu berjalan lancar.
Formasi barisan keamanan pengamanan presiden
pada barisan (shaf) pertama di mana Sukarno berada, akan diisi oleh personil Angkatan Darat. Pada baris kedua dan ketiga, masing-masing ditempati oleh satuan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sementara di barisan keempat, diisi oleh sejumlah personel dari kepolisian.
Sayang, pengaturan tersebut dinilai masih belum cukup aman. Ini dikarenakan pada baris pertama ditempati oleh Anggota TNI (ABRI pada saat itu) yang tercampur dengan warga sipil. Sementara itu, pasukan dari Corps Polisi Militer (CPM) berjaga di luar tempat shalat. Pada ring satu di luar anggota PM, sepasukan (Brigade Mobil) Brimob bersiaga dengan seksama.
Tembakan menyalak di rakaat kedua
Sebelum shalat dimulai, suasana tampak tenang dan kondusif. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Saat memasuki rakaat kedua, suara pistol meletus bersamaan teriakan takbir dari arah jamaah. Ternyata, tembakan itu meleset dari tubuh Sukarno dan malah mengenai Komisaris Soedarjat yang tengah berbalik karena curiga. Ia pun terpaksa merusak Shalatnya dan tertembus timah panas
“Pada rakaat kedua, dia (penysup) ambil pistolnya untuk menembak,” kata Letnan Dua CPM H.W. Sriyono yang dilansir dari tirto.id
Rupanya, sang penembak masih belum kapok dan malah merangsek maju ke arah Sukarno. Sontak, beberapa pengawalnya pun langsung bergerak dan menjegalnya. pergumulan seru pun tak dapat dihindarkan. Alhasil, shalat Idul Adha yang sejatinya berlangsung khidmat dan khusyuk itu, berubah menjadi ajang perkelahian menangkap pelaku penembakan. pada peristiwa itu, Ketua DPR yang juga seorang Kiai, Zaenul Arifin dan Komisaris Soedarjat terluka. Sukarno sendiri selamat tanpa kurang satu apapun.
Pelaku teror adalah orang-orang DI/TII
Kebencian terhadap pemerintahan Republik Indonesia, sudah sedemikian mengakar dari kelompok DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo. Dilansir dari tirto.di, para pelaku penembakan adalah Sanusi alias Fatah alias Soleh (32), Harun alias Kami alias Karta (27), dan Djaja Permana bin Embut alias Hidayat alias Mustafa (35). Usut punya usut, mereka bisa mengakses secara leluasa ke area shalat berkat kartu undangan masuk dari Haji Bachrun yang tinggal di Jalan Jarta I nomor 21 Bogor. Saat bergerak pun, mereka saling berpencar dan tidak masuk secara bersamaan.
Sanusi, Harun, dan Dayat, bergerak sejak pagi pukul 05.30 WIB dan bersenjatakan sepucuk pistol. Lima anggota lain seperti Tapbi alias Ramdan alias Jahaman bin Mahadi alias Iding (30), Abidin alias Hambali bin Tajudin (22), Cholil alias Pi’I bin Dachroj (20), Dachja bin Candra alias Musa (28), dan Nurdin bin Satebi (19), bertugas sebagai pengamat dan pelapor. Harun sendiri sempat menyembunyikan pistol miliknya di bawah tikar. Karena ragu-ragu, jatah eksekutor pun diambil alih oleh Sanusi. Ia sendiri malah panik dan malah berlari ke luar area dan bertemu dengan Dayat, mengabarkan bahwa pistolnya macet. Harun pun akhirnya kabur menuju Cianjur.
Peristiwa yang melahirkan pasukan pengawal Presiden
Buntut dari kejadian itu, akhirnya dibentuklah pasukan pengawal Presiden yang bernama Tjakrabirawa. Satuan khusus ini memiliki personel berjumlah 3.000 yang diambil dari empat kekuatan militer Indonesia. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (2007:370) yang ditulis Cindy Adams, sang proklamator berkata,
“Pada hari kelahiranku (6 Juni) di tahun 1962, dibentuklah pasukan Tjakrabirawa. Satu pasukan khusus dengan kekuatan 3.000 orang yang berasal dari keempat angkatan bersenjata. Tugas pasukan Tjakrabirawa adalah melindungi presiden,” ujarnya
Unit ini pun akhirnya resmi disahkan pada 5 Juni 1962 berdasar Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi No. 211/PLT/TH. 1962. Dari keempat matra, hanya Angkatan Darat yang tidak memberikan pasukan nomor satunya. Satuan elit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) sendiri, difungsikan sebagai pasukan khusus untuk bertugas di garis belakang musuh. Dalam Tjakrabirawa. Angkatan Darat mengirim wakil dari pasukan para Batalyon 454. Di mana ada Letkol Untung di dalamnya yang kelak terlibat gerakan G30S 1965. Hingga pada akhirnya, para pelaku teror Idul Adha di atas, dijatuhi hukuman mati, berikut dengan Kartosuwryo sang pemimpin.
Peristiwa di atas, membeirkan gambaran jelas bahwa kegiatan makar terhadap NKRI dan pemimpinnya, telah berlangsung lama dari zama Sukarno. Pun di saat ini, semakin banyak gerakan radikal yang juga berusaha mengancam keutuhan negara. Meningkatkan kewaspadaan dan memupuk rasa cinta tanah air, setidaknya bisa menjadi solusi untuk menangkal hal tersebut.