Adalah hal yang begitu sulit menjadi seorang berdarah Tionghoa dan harus hidup di masa Belanda. Bukan hanya karena dipandang sebelah mata oleh mereka para penjajah, tapi berbagai hal buruk juga pasti bakal dialami. Kekerasan, pemerasan, perbuatan semena-mena, sudah jadi makanan sehari-hari bagi orang-orang Tionghoa di masa Belanda dulu.
Sebenarnya tak ada yang benar-benar harus dibenci dari masyarakat Tionghoa ketika itu. Mereka hidup tenang berdampingan dan melakukan apa yang seharusnya. Namun, Belanda menganggap orang-orang ini berpotensi menggulingkan mereka, bukan secara kuasa tapi ekonomi. Makanya, ketika melihat perekonomian orang-orang Tiongkok yang benar-benar mulai meroket, Belanda khawatir setengah mati. Hingga akhirnya mereka melakukan cara keji yang kemudian kita kenal sebagai Geger Pecinan.
Ini adalah tragedi paling memilukan bagi orang-orang Tionghoa sepanjang sejarah Indonesia. Bagaimana tidak, hampir 10 ribu orang Tionghoa tewas dibantai oleh Belanda. Kejadian ini pun jadi bukti penguat kalau penjajahan di era Belanda itu memang benar-benar kejam.
Ekonomi VOC Merosot Jadi Awal Perkara
Di awal abad 18, Hindia Belanda benar-benar mengalami masa keterpurukan finansial. Hal ini lebih disebabkan karena perekonomian dunia yang lemah dan mengakibatkan Belanda terkena pengaruhnya. Harga-harga barang pokok yang dijual ke luar berupa gula dan hasil pertanian lainnya, nilainya benar-benar merosot. Alhasil, situasi ini membuat pemasukan Belanda berkurang drastis.
Kondisi ini bertahan dalam waktu yang lama sampai akhirnya Belanda dibuat makin gusar dengan kedatangan orang-orang Tiongkok dalam jumlah besar. Mereka menempati sisi luar Batavia dengan jumlah kurang lebih 10 ribu orang, serta di bagian dalam tak kurang dari 4 ribu orang. Kedatangan orang-orang Tiongkok jadi hal yang tidak diinginkan oleh VOC. Mereka takut ini akan memengaruhi perekonomian Hindia Belanda saat itu.
Pukulan Telak Orang-Orang Tionghoa kepada VOC
Seolah tak terpengaruh dengan keadaan ekonomi dunia, orang-orang Tionghoa di Batavia cenderung makin maju usahanya. Jumlah orang-orang kaya dari golongan ini pun bertumbuhan satu persatu. Hal ini makin membuat Belanda gusar setengah mati dan akhirnya memunculkan semacam sikap sentimen.
Kemudian untuk mencegah dominasi ekonomi oleh orang-orang Tionghoa, pemerintah Belanda mengambil langkah represif dan kejam. Mulai dari melakukan perampokan sampai pemerasan. Dan puncaknya adalah ketika perintah untuk menghadapi orang-orang Tionghoa dengan kekerasan mematikan digulirkan oleh Jenderal VOC kala itu, Adriaan Valckenier. Perlu diingat ketika itu orang-orang Tiongkok juga memberikan perlawanan dan bahkan melakukan pemberontakan karena merasa ditindas.
Orang-Orang Tionghoa Dibantai Secara Keji
Perintah Adriaan Valckenier itu tadi kemudian diartikan dengan bolehnya pasukan Belanda membunuhi orang-orang Tiongkok. Sehingga yang terjadi selanjutnya adalah pertumpahan darah besar-besaran. Ketika itu orang-orang Tiongkok benar-benar seperti hewan buruan yang dikejar lalu dibunuh tanpa ampun. Rumah-rumah mereka juga dibakar sampai tak tersisa satu pun hunian orang Tionghoa di Batavia.
Selama berhari-hari peristiwa keji ini berlangsung dan menghasilkan sebuah pemandangan yang benar-benar sangat buruk. “Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat,” ungkap seorang mantan tentara Belanda bernama Bernhard Schwarzen dalam bukunya Reise in Ost-Indien. Dalam pembantaian itu para tentara Belanda juga tak lupa mengais semua harta-harta yang ditinggalkan oleh orang-orang Tionghoa. Benar-benar biadab!
Adriaan Valckenier Hanya Diberi Hukuman Ringan
Dalam tragedi itu sekitar 10 ribu orang Tionghoa meninggal, maka tak heran kalau kemudian beritanya bikin gaduh pemerintah Belanda pusat. Lalu sebagai bentuk keadilan, akhirnya diputuskan jika Adriaan Vackenier harus dihukum karena sedikit banyak kejadian ini terjadi adalah karena dirinya. Hukuman memang benar dijatuhkan, tapi benar-benar sangat ringan.
Adriaan Valckenier, dalang di balik tewasnya 10 ribu orang Tionghoa hanya dijatuhi 9,5 tahun kurungan penjara. Sangat lucu tentu saja, bagaimana bisa seseorang dengan dosa sebesar ini hanya menerima ganjaran yang sangat kecil. Tapi, kita harus ingat siapa penguasanya. Sebenarnya mau tidak dihukum pun takkan ada berani menentang. Ini hanya sebagai formalitas saja.
Kejadian ini pada akhirnya membawa rasa trauma yang begitu dalam bagi orang-orang Tionghoa. Setelah tragedi itu mereka tak berani sejengkal pun menginjak tanah Batavia. Lalu entah kesambet setan apa, beberapa tahun kemudian VOC sudah mulai mengizinkan lagi orang-orang Tionghoa untuk menetap. Namun dengan syarat mereka harus menempati daerah-daerah tak strategis dan membangun tempatnya sendiri.