Antiklimaks agaknya menjadi kata pas untuk menggambarkan proses penuntasan kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa salah satu mahasiswi di Universitas Gajah Mada (UGM), yaitu Agni. Hal ini lantaran setelah upaya panjang mencari keadilan, akhirnya baik korban atau pelaku menyetujui kasus tersebut diselesaikan secara damai. Bila dipikir sekali lagi kondisi ini, tentu sangat mengejutkan.
Bukan bermaksud tidak menyukai perdamaian, namun lagi-lagi keadilan terlihat tumpul dalam menyelesaikan masalah terkait masalah model ini. Padahal, seperti telah banyak diketahui, pelecehan seksual mempunyai beban kerugian besar terhadap korbannya. Dari penelusuran yang dilakukan penulis, pada umumnya hal semacam itu akan menimbulkan efek negatif berupa trauma fisik, emosional dan psikologis. Bahkan bisa menyebabkan gangguan prilaku makan seperti diungkap laman Beritgar.id.
Kembali pada kasus ini, dilansir Boombastis dari Tirto.id, menurut pengacara Agni, keputusan damai itu didasari oleh pertimbangan akan posisi ‘terjebit’ dari kliennya. Selain itu, masih dikutip laman yang sama, perempuan yang juga kerap disapa Kiki ini mengaku kalau proses dalam menuntaskan kasus ini semakin hari kian berat untuk dijalani. Jadi, jalan damailah yang pada akhirnya dipilih dan setelah dihitung-hitung resikonya lebih rendah.
Berkaca pada nestapa tersebut, sepertinya Indonesia perlu belajar dari kerajaan Majapahit dalam menuntaskan kasus ‘bajingan’ model ini. Menurut ulasan Historia.id, kerajaan yang berasal dari Jawa Timur itu mengatur dengan ketat antara hubungan laki-laki dan perempuan. Bahkan demi membuat pelakunya jera hukuman berat siap untuk dijatuhkan kepada pelakunya, mulai dari denda sampai hukuman mati dari sang raja.
Dalam pelaksanaannya menurut laman Historia.id, salah satu pendoman yang digunakan oleh Kerajaan Majapahit adalah teks perundang-undangan Agama terdapat di bab paradara yang kabarnya ada 275 pasal. Dimana di sana mengatur berbagi jenis model hukuman yang akan diberikan pada pelaku tindakan kekerasan seksual. Namun, dalam perjalanannya keputusan Raja tetaplah menjadi penentu utama dalam pemberian sanksi berat atau ringan.
Kerajaan Majapahit bisa dikatakan akan memberikan hukuman berat kepada seorang yang bermain nakal kepada istri orang. Menurut arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa yang dikutip Historia.id, laki-laki yang melihat secara langsung pasangannya disetubuhi, diperbolehkan membunuh sang pelaku. Selain itu, juga bisa memotong tangannya atau meminta denda yang besar.
Sedangkan, untuk mereka yang belum menikah tapi berani bermain nakal, pelaku tindakan asusila akan dilabeli Babi dan dihukum empat tali oleh sang Raja. Cara Majapahit dalam menentukan sanksi juga tergantung pada saksi, dimana akan semakin berat jika dalam kasus semacam ini perbuatan diketahui pihak ketiga. Dan yang hebat dalam hal ini, kerajaan termasyur tersebut juga tidak padang bulu dalam memberikan hukuman, siapa saja termasuk pendeta sekalipun melakukan hal negatif model itu akan diberikan sanksi. Salah satu hal yang agaknya perlu dijadikan contoh oleh Indonesia.
BACA JUGA: 5 Pelecehan Verbal yang Jarang Diketahui tapi Dapat Membuatmu Terkena Pidana
Begitulah sobat Boombastis sedikit cara Kerajaan Majapahit dalam menanggulangi kasus tindakan Asusila. Walaupun hanya sekilas, agaknya ketegesan dan bagaimana mereka menghukum pelaku bisa dijadikan rujukan. Sejatinya, dalam kasus ini mereka yang menjadi pelaku memang sudah sewajarnya diberikan hukuman berat. Pasalnya, pelecehan seksual sama parahnya dengan perilaku pembunuhan. Bagaimana sobat, apakah hal-hal tadi bisa di contoh oleh negara kita?