Wacana pajak sepeda yang sempat ramai beberapa waktu lalu memang menjadi sorotan banyak pihak. Meski akhirnya dibantah oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub), hal tersebut terlanjur menuai polemik dan menjadi perbincangan hangat. Soal pajak sepeda sendiri sejatinya bukanlah hal yang baru di Indonesia.
Pajak sepeda pertama kali diberlakukan pada zaman kolonial Belanda. Aturan tersebut tak berubah dan tetap dipakai pada saat Jepang datang ke Indonesia hingga republik ini meraih kemerdekaannya. Yang namanya pajak, tentu ada aturan tertentu yang membuat masyarakat Indonesia tak bisa sembarangan menaiki sepeda.
Pajak sepeda disebut-sebut telah ada sejak zaman kolonial Belanda hingga masa pendudukan Jepang di Indonesia. Saat berada di bawah kekuasaan bala tentara Dai Nippon, aturan pajak sepeda semakin ketat lantaran pihak penguasa memberlakukan denda jika terlambat membayar pajak.
Oleh sebab itu, pemerintah pendudukan Jepang kerap mengingatkan masyarakat agar segera membayar pajak supaya tidak kena denda. Dilansir dari Kompas (30/06/2020), informasi tersebut disiarkan lewat pengumuman yang dimuat dalam koran Asia Raya, di mana mereka harus membayar di tempat yang telah ditentukan.
Dalam praktiknya di lapangan, pajak diterapkan tergantung pada domisili pemilik sepeda dan segi jenis kepemilikan seperti anak sekolah atau para pekerja. Harga penerapan pajak ditentukan adalah f 1, atau f 0,75 yang harus dilunasi sebelum tanggal 1 bulan 3 tahun 1945. Pajak 0,75 sendiri diperuntukkan pada anak-anak sekolah.
Selanjutnya, sepeda yang telah diberi pajak akan diberi tanda berupa plat berbentuk emblem berukir yang disebut sebagai “peneng”. Logo tersebut sebagai bukti bahwa sepeda yang dipakai merupakan obyek pajak yang resmi. Tanpa adanya peneng, pemilik sepeda bisa didenda jika ada razia.
Pajak sepeda tetap bergulir meski Indonesia telah merdeka beberapa tahun ke depan. Hal ini diketahui dari sejumlah daerah yang tetap menerapkan pemungutan pajak sepeda pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Bukan lagi dikenal sebagai “peneng” di zaman Jepang, melainkan “Plombir”.
Seorang pengguna Twitter bernama Titik Terang, mengunggah sebuah gambar lempengan emblem yang digunakan untuk memungut pajak bagi para pemilik sepeda. Pada masa itu, penagihan pajak dilakukan oleh RT yang mendatangi rumah-rumah penduduk yang memiliki sepeda. Masing-masing dikenakan biaya sebesar Rp50.
Meski sebelumnya sempat santer soal kabar adanya pajak terhadap sepeda, hal ini kemudian dibantah oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Meski demikian, pihaknya mengakui jika tengah menyusun regulasi mengenai sepeda yang digunakan sebagai sarana transportasi secara umum.
Bukan menerapkan pajak, melainkan aturan yang lebih berfokus pada keamanan dan keselamatan pengguna sepeda di jalan. Regulasi yang tengah disusun itu meliputi penggunaan alat keselamatan saat bersepeda, jalur yang dilalui, hingga alat pemantul cahaya yang dipasang pada sepeda.
BACA JUGA: 6 Fakta Sepeda di Masa Lalu Sebelum Bergengsi Seperti Sekarang
Wacana soal pajak sepeda memang sempat menjadi sorotan lantaran tingginya minat masyarakat menggunakan kendaraan roda dua tersebut. Terlebih saat diberlakukannya new normal di tengah pandemi seperti saat ini, kegiatan gowes menjadi alternatif untuk berolahraga sekaligus melepas kangen seusai masa PSBB.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…