Belanda ada di Indonesia sejak akhir abad ke-16. Selama itu, mereka telah banyak memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Indonesia serta memanfaatkan wanita-wanita pribumi tercantiknya. Di masa lalu, wanita pribumi selalu dicari oleh para lajang Belanda, kadang mereka yang sudah menikah pun tetap mencari. Mereka akan menjadikan gadis-gadis pribumi yang tak tahu apa-apa ini sebagai simpanan, sebagai pemuas nafsu yang tak bisa dilampiaskan kepada wanita Eropa.
BACA JUGA: Mengenal Sosok Soedirman, Jenderal Perang yang Sangat Dihormati Presiden Soekarno
Akhirnya praktik pergundikan di Hindia Belanda (Indonesia) berkembang dengan pesat. Bahkan memunculkan istilah “Nyai” sebagai sebutan wanita yang dipelihara oleh pria-pria Belanda. Dan inilah fakta dan kisah dari wanita yang rela diperlakukan semena-mena demi bisa bertahan hidup.
Masalah pergundikan lambat laun menjadi berkembang dengan pesat di nusantara, kala itu. Banyak sekali pria Belanda mencari gadis pribumi yang molek untuk dijadikan “Nyai” mereka. Biasanya mereka akan menyuruh bawahan yang biasanya pribumi untuk mencari gadis berusia belasan tahun untuk bekerja di rumah-rumah mereka yang sangat mewah.
Faktor ekonomi yang mengikat banyak penduduk membuat mereka rela menjual putrinya yang cantik kepada Belanda. Dengan begitu mereka akan mendapatkan uang untuk makan, dan si anak bisa hidup di lingkungan yang lebih baik. Tapi apa yag dibayangkan orang tua tak selamanya benar. Putri-putri mereka yang dijual itu justru diperlakukan tak ubahnya seorang binatang. Mereka disuruh bekerja dengan kasar hingga harus melayani tuannya itu di atas ranjang.
Nyai tentu tidak memiliki status yang resmi. Meski kadang mereka diperlakukan dengan baik seperti diberi baju dan perhiasan, status mereka adalah ilegal. Dengan kata lain, sampai kapan pun pemerintah Belanda tidak akan mengakui mereka sebagai istri dari pada pria Belanda yang kebetulan ditugaskan di nusantara selama beberapa waktu.
Nyai hanyalah wanita yang digunakan oleh pria Eropa untuk mengurus rumah dan juga urusan ranjang. Selebihnya mereka adalah wanita pribumi yang tentu tidak memiliki derajat yang setara dengan wanita Eropa. Mereka hanyalah orang tak berguna yang kadang direndahkan dan di-hewan-hewan-kan oleh tuan yang memelihara mereka.
Dalam hubungan antara Nyai dan tuannya, terkadang menghasilkan beberapa anak. Hal ini kadang membuat si tuan marah karena menganggap gundiknya ini sengaja hamil. Namun di sisi lain ada juga tuan yang senang dan akhirnya memelihara anak yang akhirnya disebut sebagai Indo-Eropa atau voorkinderen. Anak ini akan diasuh oleh ibunya namun mendapatkan didikan ala Eropa yang berkelas. Namun kasus ini sangatlah sedikit, banyak anak dari hubungan mereka yang ditelantarkan.
Saat tuan dari Nyai ini kembali ke Eropa, anak-anak ini ada yang dibawa dan disyahkan sebagai warga Belanda. Namun tak sedikit juga dari mereka yang membiarkan anak dari Nyai ini hidup menderita di bumi nusantara. Anak darah campuran hanya akan memalukan keluarganya yang ada di Eropa. Mereka hanya ingin anak yang benar-benar Belanda asli atau totok. Untuk menyiasati masalah ini, banyak dari pria Eropa yang menitipkan anak mereka, terutama yang disayang kepada rekannya di Indonesia. Dengan begitu anak ini masih bisa hidup dengan baik, dan kelak bisa menyusul pergi ke Eropa tanpa ada embel-embel anak gundik.
Nyai selalu dicitrakan sebagai wanita yang tak lebih baik dari binatang. Citra ini terus dipegang agar ada garis pemisah antara wanita terhormat Eropa dan pribumi. Saat tuan yang memelihara mereka kembali ke Eropa karena tugasnya sudah selesai. Mereka akan menjual gundik ini kepada pria Eropa lainnya jika masih memiliki penampilan yang menarik. Jika tidak mereka akan dibiarkan dan dibuang begitu saja.
Nyai-nyai yang memiliki anak dan anak itu memiliki wujud yang “Eropa Banget”, akan diberi warisan untuk hidup lebih baik. Namun banyak dari anak mereka yang dibawa ke Eropa dan berpisah dengannya. Nyai-nyai yang tak beruntung akan dibiarkan hidup menderita dan anaknya direbut karena dianggap lebih Eropa dan bisa hidup selayaknya bangsawan.
Pergundikan di nusantara lambat laun menurun dengan drastis. Hal ini terjadi karena banyak desas-desus yang mengatakan melakukan pergundikan dan hidup dengan Nyai hanya menurunkan martabat orang Belanda. Harusnya pria Eropa hidup dengan wanita Eropa yang terhormat pula. Dengan begitu anak yang dihasilkan akan berdarah murni tanpa ada campuran darah pribumi yang dianggap “sampah” oleh Belanda.
Saat Jepang mengambil alih Indonesia pada tahun 1942, praktik pergundikan otomatis selesai. Pria-pria Eropa dipenjara sementara Nyai dan anak Indo-nya dianggap pribumi dan tak disentuh. Jika saja Jepang tak menguasai Indonesia, mungkin praktik pergundikan ini akan terus berjalan. Dan Nyai-nyai malang akan semakin banyak bertebaran di nusantara.
BACA JUGA: Sejarah Pertemuan Taiping, Saat Malaysia Ingin Bergabung dengan Indonesia
Inilah lima fakta tentang Nyai atau wanita dalam praktik pergundikan Belanda. Di masa lalu, wanita-wanita pribumi memiliki hidup dengan mengerikan. Jika tidak hidup sebagai budak kasar mereka akan hidup menjadi budak di rumah-rumah Eropa yang mewah. Bagaimana pendapat sobat Boombatis tentang praktik ini?
Akhirnya kejadian, seorang petugas pemadam kebakaran Depok gugur ketika melakukan tugasnya. Dia adalah Martin Panjaitan,…
Menjelang pemilu yang semakin dekat, sejumlah daerah mengadakan debat calon kepala daerah untuk memperkenalkan visi…
Kasus penahanan seorang guru bernama Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menjadi sorotan publik. Perempuan…
Solo yang dikenal dengan kota yang tenang, baru-baru ini terdapat kejadian yang menghebohkan. Kota Solo…
Fomo (fear of missing out) adalah rasa takut ketinggalan akan sesuatu hal yang sedang tren.…
Drama Korea sering kali memberikan kisah-kisah yang tak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pelajaran hidup…