Di masa kejayaan Islam, Rasullulah sallallahu alaihi wasallam senantiasa berjuang dengan para sahabatnya dalam menegakkan kalimat tauhid. Salah satu bentuk usaha tersebut adalah dengan jalan berperang dengan kaum musyrikin. Dalam strategi militernya, Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam senantiasa menggunakan bendera sebagai identitas.
Bendera yang bernama ar- Rayah atau rayah itu, berwarna hitam dan kerap dikibarkan oleh pasukan Islam yang berada pada kondisi siap tempur. Masyarakat Indonesia sendiri, juga sempat dihebohkan dengan kasus pembakaran bendera tersebut. Di mana mereka terbelah dengan pro kontra dan argumen masing-masing. Lantas, bagaimana sejarah dari ar-Rayah itu sendiri?
Sejarah bendera hitam yang menjadi simbol pasukan Islam
Dalam bahasa Arab, bendera sebut dengan liwa’ atau alwiyah (dalam bentuk jamak) yang indentik dengan simbol kemiliteran dalam Islam di masa Rasullulah sallallahu alaihi wasallam. Diansir dari republika.co.id, keberadaanya kerap disandingkan dengan rayah (panji perang). Panji-panji ini juga tertuang dalam sebuah riwayat yang disebutkan, rayah yang dipakai Rasulullah sallallahu alaihi wasallam berwarna hitam, sedangkan liwa’ (benderanya) berwarna putih. (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah).
Fungsi bendera ar-Rayah di antara pasukan
Dilansir dari republika.co.id, panji kebesaran itu bertuliskan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah tersebut digunakan saat peperangan. Untuk rayah, bendera hitam itu kerap digunakan oleh komandan atau panglima perang yang menggerakkan pasukan. Saking pentingnya, panji itu diserahkan langsung oleh khalifah kepada panglima perang serta petinggi militer lainnya. Bisa dibilang, bendera hitam ini termasuk Ummu al-Harb atau Induk Perang.
Menjadi identitas kedaulatan Islam di masa lalu
Selain digunakan selama peperangan berlangsung, keberadaan bendera hitam itu juga menjadi simbol kejayaan militer umat Islam di masa kenabian. Hal itu kemudian berlanjut pada periode kepemimpinan diserahkan pada sahabat-sahabat Nabi. Hingga ekspansi dari daulah Islam berakhir, simbol rayah masih terlihat digunakan hingga saat ini. Sayang, keberadaannya kerap disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu yang justru melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Pro kontra bendera ar-Rayah dan al-Liwa di Indonesia
Bendera ar-Rayah sejatinya telah lama berkibar di Indonesia, namun hanya terbatas penggunaannya pada ormas-ormas yang memiliki latar belakang keagamaan. Sayang, keberadaannya kerap tercampur aduk dengan kepentingan-kepentingan tertentu dan dipolitisasi sehingga menimbulkan persepsi yang bermacam-macam. Seperti yang bersumber dari tirto.id, sejumlah ormas Islam menggelar aksi damai mengutuk peristiwa pembakaran bendera tauhid pada peringatan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober lalu.
Penggunaan bendera tersebut menurut penulis
Secara simbolis, sebenarnya sah-sah saja jika menggunakan bendera tersebut. Terutama sebagai bentuk kecintaan sekaligus meneladani perjalanan sejarah di dalamnya. Sayangnya, hal itu kerap dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memancing kericuhan di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja, penulis berharap agar masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak serta merta ikut terprovokasi dalam peristiwa yang ada.
Sejatinya, tak ada yang salah dengan keberadaan bendera tersebut. Selain sebagai warisan dari peradaban umat Islam di masa lalu, panji-panji tersebut juga sarat dengan kisah perjalanan dakwah Rasullulah sallallahu alaihi wasallam dan para sahabat. Tentu saja, kita harus mau dan mencari tahu sejarah dan makna yang terkandung di dalamnya.