Virus corona (COVID-19) yang menjadi pandemi secara global, membuat banyak negara mulai menerapkan beberapa kebijakan guna mengantisipasi penularan yang terjadi. Salah satunya adalah Belanda yang mencoba melakukan karantina wilayah dengan konsep yang cerdas atau disebut sebagai “intelligent lockdown”.
Meski terkesan seperti konsep yang terlihat ‘wah’, namun hal tersebut justru dianggap oleh sesama negara Eropa lainnya sangat beresiko tinggi. Alih-alih mengurangi penyebaran virus corona di dalam negeri, Belanda harus menerima kenyataan bahwa wilayahnya menjadi salah satu penyumbang tingkat kematian tertinggi di dunia. Lantas, seperti apa kebijakan lockdown cerdas yang diterapkan di sana?
Konsep karantina wilayah yang dilakukan dengan cara tertarget
Saat wabah corona mulai menyebar, pemerintah Belanda dengan sigap menerapkan ‘lockdown cerdas’ atau ‘lockdown yang ditargetkan’. Pelaksanaannya sendiri kurang lebih serupa dengan negara-negara lain yang melakukan pembatasan di ruang publik. Hanya saja, ‘lockdown cerdas’ ala Pemerintah Belanda tidak dilaksanakan secara ketat.
Pemerintah percaya, akan ada banyak masalah jika kegiatan manusia yang begitu sibuknya kemudian ditutup secara tiba-tiba. Untuk itu, strategi ‘lockdown cerdas’ dengan memilih target pembatasan secara spesifik dianggap biasa menjadi jalan keluar di tengah pandemi corona.
Beberapa kegiatan di masyarakat tetap dilonggarkan di tengah pandemi corona
Saat memulai langkah-langkah lockdown, pemerintah Belanda tidak melakukannya secara penuh terhadap masyarakat. Hanya beberapa saja yang terkena pembatasan tersebut. Layanan umum seperti toko material, toko daging, toko roti, dan sejenisnya masih diizinkan untuk beroperasi.
Sementara mereka yang terkena pembatasan adalah salon kecantikan, pangkas rambut, sekolah-sekolah mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, hingga universitas juga ditutup sementara. Sementara itu, gerak masyarakat di ruang publik juga dibatasi sedemikian rupa demi mencegah penularan virus corona.
Imbauan efektif dari pemerintah yang disambut dengan kepatuhan oleh masyarakat
Seperti kebijakan lockdown pada umumnya, pemerintah Belanda juga mengimbau pada masyarakat agar tetap tinggal di dalam rumah, menjaga jarak sejauh 1,5 meter antar individu (physical distancing), dan menghindari kegiatan yang sifatnya berkelompok atau berpotensi menimbulkan kerumunan.
Dilansir dari New Straits Times (24/04/2020), pemerintah Belanda memperpanjang masa lockdown di wilayahnya hingga 1 Juni 2020. Peraturan ini juga melibatkan pihak kepolisian setempat yang diberi kuasa untuk mencegah kerumunan, dan memberikan denda pada mereka yang melanggar.
Belanda menggunakan sistem kekebalan kelompok yang justru berisiko besar
Pendekatan pemerintah Belanda yang menggunakan herd immunity, di mana hal tersebut merupakan keadaan suatu populasi pada masyarakat yang cukup kebal terhadap penyakit. Sebagai contoh untuk melawan corona, dibutuhkan 70 persen populasi yang terinfeksi dengan harapan hal tersebut akan membuat mereka semakin kebal di masa depan.
Pemerintah Belanda meyakini jika semakin banyak yang terinfeksi, maka akan banyak dari mereka yang sembuh dan kemudian lebih kebal dari corona di masa yang akan datang. Sayangnya, hal tersebut malah menjadi blunder buat pemerintah Belanda saat angka kematian akibat corona semakin tinggi. Pendekatan kekebalan kelompok ini pun akhirnya dianggap riskan jika diteruskan.
BACA JUGA: Efek Gawat Jika Lockdown karena Corona Dilakukan, Hambat Aktivitas Hingga Ancam Ekonomi
Beberapa kebijakan yang dilakukan oleh Belanda di atas sejatinya telah diadopsi oleh pemerintah. Hanya saja, penerapannya disesuaikan dengan melihat kondisi dan lingkup sosial di masyarakat. Salah satunya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kini telah berjalan. Gimana menurutmu Sahabat Boombastis?