Mindset kebanyakan orang tentang profesi buruh adalah mereka para pekerja kasar yang gajinya tak seberapa dan hidupnya susah. Ya, mungkin itu dulu, namun kini setelah undang-undang dan kebijakan pemerintah mengangkat kaum buruh, mereka sudah bisa dibilang makmur dan sederajat dengan profesi lainnya, terutama soal pendapatan. Namun yang bikin heran, selalu saja para buruh mengeluh soal gaji kurang dan menganggap dirinya tak pernah sejahtera.
Seperti beberapa waktu lalu, solidaritas buruh melakukan demonstrasi besar-besaran yang tujuannya untuk mengangkat kaum buruh dengan wacana kenaikan upah. Pertanyaannya, apakah pemerintah harus serta merta merealisasikan tuntutan tersebut? Sepertinya harus dipikirkan lagi. Buruh sekarang sebenarnya sudah jauh lebih makmur dari pada kebanyakan orang.
Berikut adalah fakta-fakta kenapa pemerintah harus berpikir ulang berkali-kali kalau ingin benar-benar menaikkan gaji buruh.
1. Banyak Buruh Punya Kendaraan Mahal
Kalau buruh zaman dulu mungkin digambarkan sangat sederhana dan bersahaja. Kalau sekarang ini, mereka sudah naik level. Salah satu buktinya adalah tunggangan mereka yang sudah lebih berkelas, bahkan bisa dibilang terlalu mahal untuk orang-orang kebanyakan.
Percaya atau tidak, banyak buruh yang punya motor seharga Rp 50 jutaan. Bahkan tak lupa mereka juga membawanya berseliweran ketika melakukan demonstrasi. Ini jadi pemandangan yang ironis ketika mereka mengeluh gaji kecil tapi tunggangannya justru milik para konglomerat.
2. Gadget Para Buruh Juga Kekinian
Gadget sudah barang wajibnya banyak orang sekarang. Jadi pemandangan yang aneh justru kalau ada yang tak menggenggam smartphone berlayar sentuh itu. Termasuk buruh, mereka juga memiliki benda ini. Namun bedanya dari orang kebanyakan, gadget mereka lebih sangar.
Jika mungkin harga smartphone kita antara Rp 1 – 2 juta, para buruh kadang punya gadget yang lebih mahal dengan harga di atas Rp 2 jutaan. Bahkan kadang pula mereka punya dua smartphone sekaligus. Menuntut kesejahteraan tapi bisa mencukupi kebutuhan mewah seperti smartphone mungkin jadi hal yang mengherankan. Jangan-jangan, naik gaji untuk beli smartphone lagi.
3. Buruh Punya Banyak Kredit yang Harus Dibayar
Jujur saja, buruh sama sekali tak miskin. Mereka kini memenuhi rumah-rumahnya dengan barang-barang mewah. Walaupun mereka mengatakan membeli benda-benda mahal tersebut secara kredit alias hutang.
Mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup mendasar seperti sandang dan papan. Sepertinya hal tersebut sudah lebih dari cukup. Bahkan dengan gaji UMK yang tinggi mereka bisa menabung untuk kebutuhan yang lain termasuk anak. Namun tidak demikian pada kenyataannya. Banyak buruh yang melakukan kredit dan akhirnya terhimpit. Sehingga, tuntutan kenaikan upah tersebut seperti terkesan menyuruh pemerintah untuk membayarkan kredit mereka.
4. Buruh Juga Hidup Hedon
Hedonisme di kalangan buruh bukan jadi hal baru. Ya, kini mereka sudah hidup dengan sangat jumawa. Tak lagi terbebani dengan kebutuhan fundamental yang harus ditebus, para buruh bisa bersenang-senang dengan uang mereka yang bisa dibilang cukup banyak.
Membeli baju-baju mahal, perhiasan, trip rutin ke tempat wisata tiap minggu adalah hal yang sangat lumrah mereka lakukan. Lalu, jika bisa hidup seperti ini kenapa masih minta kenaikan upah? Tentu saja hal ini sangat miris dan tidak masuk akal. Banyak yang lebih membutuhkan dari mereka yang harus dibantu.
5. Buruh Bahkan Punya Kartu Kredit
Masih berhubungan dengan gaya hidup hedonisme buruh, banyak dari mereka yang bahkan punya kartu kredit sekarang ini. Lagi-lagi hal ini jadi sesuatu yang ganjil di mana tak semua orang bahkan berani mengajukan formulir kartu kredit untuk kemudahan belanja mereka. Hal ini bisa jadi indikasi kalau nasib buruh sudah tidak miris seperti yang mereka gaung-gaungkan saat demo.
Kartu kredit ini pun berujung pada tagihan, sama seperti kredit-kredit yang lainnya. Alhasil, mungkin lantaran tagihan membengkak, maka mau tak mau harus melakukan pelunasan. Salah satu caranya ya tadi dengan memaksa pemerintah untuk terus menaikkan gaji mereka.
6. Nilai Kepantasannya juga Harus Dipertimbangkan
Buruh mungkin tidak punya latar pendidikan yang tinggi, namun gaji mereka hampir menyaingi bahkan lebih tinggi dari pada pekerja terpelajar. Tentu saja ini ironis pula. Bukankah seharusnya tingkat pendidikan juga memengaruhi pendapatan? Jika semua dipukul rata bahkan yang pendidikan rendah gajinya tinggi, maka buat apa kuliah? Mending jadi buruh, gaji besar, uang kuliah pun bisa dipakai untuk yang lain.
Ya, pemerintah juga harus memikirkan nilai kepantasan ini. Terlebih lagi kaum pekerja profesional dengan latar belakang pendidikan tinggi tidak pernah melakukan penuntutan naik gaji terus. Kecuali mereka berprestasi dan memang layak. Lalu para buruh, mereka menuntut kenaikan bagi seluruh buruh. Padahal di sana tak sedikit para buruh yang kerjanya malas, korupsi dan lain sebagainya.
Buruh memang tidak semua seperti ini. Ada pula mereka yang benar-benar bekerja giat namun memang pendapatannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang seperti ini memang harus dibantu oleh pemerintah lewat perusahaan tempat mereka bekerja. Justru para buruh yang bekerja sungguh-sungguh tersebut jarang sekali melakukan protes-protes. Mengingat inilah satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka dapatkan. Begitu perusahaan ngambek lalu pergi atau berhenti beroperasi, maka mereka sendiri yang akan susah nantinya.