Meski Indonesia merupakan negeri yang subur hingga kayu dilempar bisa jadi tanaman. Ada beberapa daerah di negeri ini yang memiliki keadaan cuaca dan juga tanah yang cukup tandus. Akhirnya, penduduk yang tinggal di sini harus melakukan segala cara untuk membuat tanahnya jadi subur dan meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan.
Salah satu daerah yang mengalami kekeringan cukup parah adalah kawasan Pariopo yang terletak di kawasan Situbondo, Jawa Timur. Di tempat ini, penduduk harus banyak berusaha karena lahan mereka miliki cukup tandus sehingga dibutuhkan hujan yang cukup banyak untuk membuatnya menjadi subur. Keadaan yang serba menekan ini membuat penduduk kerap melakukan acara pemanggilan hujan yang sangat sakral setiap tahun. Berikut kisah masyarakat Pariopo yang sangat menarik.
Kehidupan Masyarakat Pariopo
Secara administrasi, masyarakat Pariopo masuk dalam kawasan Desa Bantal, kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Kawasan Desa Bantal yang didiami oleh penduduk keturunan Madura dan Jawa ini berbukit-bukit dan cukup terjal. Biasanya penduduk yang tinggal di sini memiliki profesi sebagai seorang petani atau peternak yang memilihara kambing atau sapi.
Klaau diamati sekilas, kawasan perbukitan di Pariopo ini sangat hijau dan terlihat subur. Namun, apa yang dilihat tidak sama dengan kenyataan yang ada. Tanah di kawasan ini cukup tandus sehingga hujan sangat dibutuhkan setiap tahunnya. Tanpa hujan, kawasan ini akan mengalami kemarau panjang selama setahun penuh sehingga penduduk yang tinggal akan mengalami kesusahan.
Ritual Pemanggil Hujan yang Sakral
Untuk menanggulangi masalah kemarau yang sangat panjang dan menyebabkan banyak sektor jadi terganggu, leluhur di Pariopo mengadakan upacara pemanggilan hujan. Setiap tahun tepatnya pada bulan Oktober-November warga di sini akan mengadakan upacara besar dan sakaral yang diberinama ritual Pojhian Hodo
Dengan mengadakan ritual ini, masyaralat di Pariopo berharap akan turunnya hujan dengan cepat. Dengan ritual yang penuh kesakralan, mereka meminta kepada Tuhan agar hujan yang diimpikan itu segera turun dengan deras dan membawa banyak keberkahan. Oh ya, biasanya hujan akan turun selang beberapa jam setelah acara sakral ini dilakukan sehingga warga setempat jadi bersuka cita.
Nilai Budaya dari Tradisi Pemanggilan Hujan Pariopo
Tidak ada yang tahu dengan pasti sejak kapan Pojhian Hodo diadakan. Namun, ritual ini dipercaya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Bertahannya ritual yang sangat sakral ini selama bertahun-tahun terjadi karena banyaknya nilai-nilai yang terkandung. Salah satu nilai yang ada adalah nilai spiritualitas. Sebelum acara ini diadakan, peserta akan melakukan penyucian diri hingga dilanjutkan semadi dan berkurban. Hal-hal semacam ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan sang pencipta.
Selanjutnya ada nilai historis di mana ritual ini diadakan dari tahun ke tahun sesuai dengan pakem dari leluhur. Terakhir, nilai estetis atau keindahan juga tampak dengan jelas karena ritual ini juga melakukan semacam tarian dan lagu-lagu yang sakral sehingga siapa saja yang datang bisa menikmatinya dengan saksama dan penuh khidmat.
Even Tahunan untuk Dongkrak Wisatawan
Seiring dengan berjalannya waktu, ritual yang awalnya hanya dikhususkan untuk kegiatan ada ini mulai digandrungi banyak orang. Pemerintah daerah dengan penduduk setempat mulai menjalinkerja sama agar ritual pemanggilan hujan disaksikan oleh banyak turis baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Hingga tahun 2016 ini, festival yang dinamai Festival Hodo ini sudah berjalan sebanyak dua kali. Kemungkinan besar, festival ini akan diadakan lagi tahun depan dengan agenda yang tidak kalah seru.
Inilah sekilas tentang masyarakat Pariopo dan ritual hujan yang mereka lakukan. Semoga ke depannya, ritual ini bisa menjadi bagian destinasi wisata tahunan yang menarik banyak wisatawan untuk bertandang.