Pertemuan bersejarah antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar, Sheikh Ahmed Al Tayeb, telah memberikan paradigma yang batru antara dunia Islam dan Kristen. Dilansir dari dunia.tempo.co, kedua tokoh besar itu menandatangani “Human Fraternity Document” atau Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan di Founder’s Memorital di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Konteks “Human Fraternity Document” yang mempromosikan persaudaraan antar manusia, bisa menjadi landasan perdamaian di masa depan di tengah konflik berkepanjangan atas nama agama. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ada beberapa hal dari peristiwa tersebut yang bisa dipetik dan diteladani oleh masyarakat di Indonesia.
Mengurangi perpecahan atas nama SARA
Perpecahan berbalut SARA sempat membekap beberapa wilayah di Indonesia, menjadi bukti betapa mengerikannya peristiwa tersebut jika dibiarkan berlarut-larut. Salah satunya adalah tragedi Maluku yang terjadi beberapa waktu lalu. Jika melihat momen pertemuan antara dua pemuka agama besar seperti Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar, Sheikh Ahmed Al Tayeb, Indonesia justru bisa memulainya dari diri sendiri dengan menanamkan pemahaman, bahwa persatuan adalah salah satu hal yang penting untuk mencegah konflik
Perbedaan keyakinan bukanlah alasan untuk saling benci
Terkadang, akar dari sebuah konflik berawal dari perbedaan dari keyakinan yang dianut. Hal semacam inilah yang harusnya dihilangkan dari tatanan masyarakat Indonesia agar bisa hidup dalam kerukunan. Terkadang, kesenjangan sosial yang memang rawan menimbulkan konflik, bisa disusupi oleh hal-hal negatif berbau SARA yang akhirnya menjelma menjadi kerusuhan dalam skala yang luas. Jika pemuka agama di luar negeri ingin menjadikan pertemuan lintas agama sebagai pondasi untuk mewujudkan perdamaian, Indonesia seharusnya juga bisa untuk melakukan hal mulia tersebut.
Jangan membawa agama dan nama Tuhan dalam konflik
Membawa nama Tuhan maupun keyakinan dalam konflik, merupakan ‘trend’ yang tengah mengemuka saat ini. Bukan hanya pemeluknya saja yang tercoreng, hal itu juga berpotensi menimbulkan mis-persepsi dan menciptakan ketakutan tak berdasar (phobia) atas keyakinan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Sebagai warga negara yang baik, tugas kita adalah menjaga dan menghindarkan diri dari hal-hal demikian. Caranya bisa dengan lebih mengutamakan komunikasi, musyawarah dan berlapang dada jika terjadi perbedaan pendapat maupun pandangan.
Melatih diri untuk bertoleransi sesuai dengan pemahaman agama masing-masing
Toleransi dan menjunjung persatuan antar umat manusia, merupakan salah satu agenda antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar, Sheikh Ahmed Al Tayeb untuk mewujudkan perdamaian. Di Indonesia, terkadang makna toleransi di maknai secara salah kaprah sehingga menimbulkan ‘gesekan’ yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Kuncinya adalah komunikasi yang disampaikan secara santun tanpa ada maksud untuk menghakimi, serta memberikan pengertian tentang batasan dan anjuran toleransi sesuai ajaran agama masing-masing.
BACA JUGA: 4 Negara Konflik yang Dibuat ‘Adem’ oleh Indonesia, Bukti Negara Kita Serius Menjaga Perdamaian
Perpecahan berlatar SARA yang berujung dengan peperangan, merupakan salah satu faktor penghancur paling utama di negara-negara konflik. Sama seperti kondisi Indonesia yang memiliki penduduk yang datang dari etnis dan suku berbeda, persatuan seperti yang dilakukan oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar, Sheikh Ahmed Al Tayeb di atas, bisa menjadi cerminan bagi kita untuk membangun perdamaian di negeri ini tanpa memandang suku, ras, agama dan hal-hal lainnya.