Kalau kalian pernah menyaksikan film ‘Filosopi Kopi’ yang pernah hadir di bioskop Indonesia, pasti tau dengan adegan di mana Jody mengajak Tara melihat pemakaman bayi-bayi Toraja yang meninggal dunia. Yap, bukan kuburan di tanah melainkan pohon bernama Tarra. Pohon yang tinggi menjulang ini menjadi tempat peristirahatan terakhir anak penduduk Toraja yang meninggal dunia.
Mengapa harus pohon Tarra yang dijadikan sebagai kuburan? Atau mengapa tidak dikuburkan di tanah seperti tradisi lumrah masyarakat saja? Nah, lebih lengkapnya temukan dalam uraian fakta pohon Tarra berikut.
Pohon Tarra mengandung banyak getah
Pemakaman khusus dalam pohon Tarra ini oleh masyarakat setempat dinamakan sebagai Passiliran. Pertanyaan lain yang mungkin muncul adalah mengapa harus pohon Tarra? Tarra ini adalah salah satu pohon yang memiliki banyak getah putih. Dengan itu, masyarakat mempercayai dengan menitipkan bayi mereka di pohon ini, getah bisa menjadi pengganti ASI (Air Susu Ibu). Secara singkatnya, Tarra adalah rumah baru untuk anak-anak yang tak sempat menikmati hidup bersama orangtua mereka.
Tumbuh sejak ratusan tahun lalu
Pohon Tarra sudah ada selama ratusan lalu, sama usianya dengan adat Passiliran sudah dilakukan oleh nenek moyang yang menganut kepercayaan Aluk Todolo. Dari segi ukuran, pohon ini bisa tumbuh sangat besar, dengan diameter sekitar 80 hingga 100 cm. Tarra juga hanya tumbuh dan bisa ditemukan di Desa Kambira, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Letaknya di tengah hutan, di tengah rerimbunan pohon bambu dan tanaman liar lain. Usia pohon-pohon yang tua membuat tempat tumbuh pohon ini dijadikan sebagai objek wisata, Passiliran: Kambira Baby Graves.
Tarra adalah rahim yang bisa memberi kehidupan baru
Selain mengandung banyak getah sebagai air susu, batang Tarra disebut sebagai rahim bagi bayi. Masyarakat Kambira percaya bahwa bayi adalah makhluk suci, maka bersemayam di dalam pohon ini sama artinya dengan menyelamkan generasi selanjutnya. Dalam artian, bayi yang meninggal dalam sebuah keluarga lalu dimakamkan di dalam pohon Tarra akan mampu mencegah kematian bayi selanjutnya.
Tak pernah mengeluarkan bau busuk
Dalam satu pohon Tarra bisa ditempati oleh banyak bayi, namun uniknya pohon yang ada di tengah hutan ini tak pernah mengeluarkan bau busuk sebanyak apapun penduduk yang memenuhi batangnya. Hal tersebut diyakini oleh masyarakat karena Tarra adalah wujud yang menghidupi. Para bayi yang dimasukkan dalam ‘rahim’ pohon Tarra akan menyatu dengan sendirinya berkat bantuan getah pohon. Makanya, setelah 20 tahun berlalu, pohon akan kembali mulus dan bisa ditempati oleh bayi lain.
Tarra dan adat penguburan bayi Toraja
Dalam adatnya, penguburan bayi dalam pohon Tarra ini tidak sembarangan ya Saboom. Bayi yang berhak masuk ke tanaman ini adalah bayi yang usianya belum mencapai 6 bulan dan belum tumbuh gigi. Tarra akan dilubangi sesuai dengan ukuran badan sang bayi, lalu bayi dimasukkan ke dalamnya tanpa sehelai pakaian apapun (read: seperti berada di rahim), kemudian lubang akan ditutup dengan sabut ijuk atau enau. Adat yang berlaku juga sangat detail. Bayi-bayi itu akan ditempatkan menghadap ke rumah duka, sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga. Strata sosial mempengaruhi tinggi penempatan, semakin tinggi status sosialnya maka akan semakin tinggi posisi kuburannya.
Bagi masyarakat Tana Toraja, pemakaman adalah satu hal yang sakral dalam mengakhiri kehidupan seseorang. Tak heran jika banyak sekali adat dalam mengantar mereka ke peristirahatan terakhirnya ini. Tarra hanyalah satu dari sekian cara yang digunakan oleh masyarakat Toraja, sekaligus bukti bahwa budaya negara kita memang kaya dan beragam.