Dalam beberapa hari terakhir, wacana kenaikan harga rokok per bungkusnya menjadi Rp50.000,00 mulai ramai diperbincangkan. Beberapa orang menganggap rencana ini adalah sebuah gebrakan baru agar menekan jumlah perokok di Indonesia. Berseberangan dengan pendukung kesehatan tersebut, para praktisi yang pro industri menyambut sini rencana ini. Hal ini dikhawatirkan akan membuat pabrik rokok tutup dan buruh pabrik dipecat secara massal.
Terlepas dari pro atau kontra terkait harga rokok yang melambung tinggi, Indonesia sebenarnya punya rokok tradisional yang hadir sejak abad ke-17. Rokok linting yang bernama kretek ini berisi tembakau dan cengkih yang dikeringkan secara sempurna. Seiring berkembangnya waktu, menghisap kretek menjadi sebuah kebiasaan dan termaktub dalam kitab kuno masyarakat Jawa.
Masih melanjutkan tentang kretek, berikut beberapa fakta menarik yang menemani perjalanan rokok linting ini hingga sekarang.
Setidaknya ada dua kisah yang menceritakan kapan bermulanya kretek masuk ke Indonesia khususnya Jawa. Berdasarkan Babad Tanah Jawa, tradisi merokok dengan menghisap kretek diperkirakan ada sejak abad ke-17. Dalam kitab yang berisi banyak kisah masyarakat itu tertulis sebuah kisah tentang Rara Mendut yang berjualan kretek kepada para petinggi kerajaan. Hal ini dilakukan oleh Rara Mendut karena dia tidak punya uang sehingga harus berjualan kretek yang dilem dengan air liurnya.
Kisah kedua dari kretek mengatakan bahwa benda yang yang terbuat dari racikan tembakau kering dan cengkih ini ada sejak akhir abad ke-19. Adalah Djamhari pria yang konon menemukan kretek pertama kali hingga akhirnya tumbuh menjadi industri yang sangat besar dan disukai oleh banyak orang khususnya kaum pria.
Kretek tidak hadir begitu saja tanpa ada sebab musababnya. Kala itu Djamhari memiliki penyakit pernapasan yang cukup parah, untuk mengurangi rasa sakitnya, dia menggunakan minyak cengkih yang dioles pada tubuh. Setelah merasa enakan, Djamhari mencoba mengunyah cengkih langsung hingga merajangnya secara halus, dicampur tembakau lalu disulut dengan menggunakan api.
Setelah menyulut benda racikannya ini, sakit pernapasan dari Djamhari menjadi sembuh. Berita kesembuhan Djamhari dengan menghisap racikannya mendadak tersebar luas sehingga permintaan terus saja berdatangan. Dari kesempatan ini Djamhari akhirnya membuat racikannya lebih banyak dan orang-orang menyebutnya kretek. Kata kretek diambil dari bunyi “kretek-kretek” saat rokok dibakar dan dihisap asapnya.
Industri kretek di Indonesia diperkirakan hadir pada tahun 1870-1880 atau 10 tahun sebelum Djamhari meninggal. Dari sana, orang mulai membuat rokok kreteknya sendiri lalu menjual kepada banyak orang. Biasanya mereka menggulung tembakau dan cengkih di dalam klobot atau daun jagung lalu dijual dalam untingan 10 biji.
Maraknya kretek dijual di kala itu membuat Nitisemito memiliki ide brilian. Dia mulai memproduksi massal rokok ini dengan racikan yang nikmat. Dia bahkan memberikan merek pada rokoknya sehingga semakin dikenal banyak orang. Seiring berkembangnya waktu, pabrik rokok di Indonesia khususnya Kudus tempat Nitisemito tinggal mulai berkembang pesat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama setidaknya ada puluhan pabrik milik bumiputra.
Tidak berselang lama, para pengusaha Tionghoa tertarik dengan usaha ini. Saat para bumiputra bangkrut dan berjatuhan, mereka terus bertahan dan mendulang keuntungan sebanyak-banyaknya. Oh ya, Nitisemito dikenal sebagai penguasa bumiputra paling kaya sebelum kemerdekaan di Indonesia tiba.
Berganti zaman, industri rokok di Kudus tetap bertahan sampai sekarang. Meski demikian, gempuran rokok-rokok modern dengan jenis filter sempat membuat kretek terpuruk sedalam-dalamnya. Di saat pemerintah akan menerapkan harga dua kali lipat untuk semua jenis rokok, nasib kretek bisa jadi semakin tidak bisa ditolong lagi.
Beberapa orang ingin menjadikan kretek sebagai bagian dari kebudayaan. Benda yang menjadi kreasi bumiputra ini telah dikenal dan menyumbangkan banyak pekerjaan bagi banyak orang. Namun, polemik dampak buruk rokok, cukai, hingga kepentingan industri dan politik membuat nasib kretek semakin terombang-ambing.
Terlepas dari semua polemik yang ada entah masalah harga dan kesehatan, kretek adalah hasil racikan orang Indonesia yang hebat. Menurut kalian semua, perlukah kretek dilindungi sebagai bagian dari aset negeri ini?
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…