Kita semua tahu persis bahwa buku pelajaran digunakan untuk membantu siswa agar bisa lebih memahami materi. Jadi, pastinya buku ini dibuat dengan sungguh-sungguh dan tidak asal-asalan dong. Logikanya, buku tersebut sih harusnya sudah melewati hasil uji atau pengawasan ketat sebelum beredar luas di pasaran. Tapi, melihat beberapa kasus buku pelajaran tidak layak yang sudah terjadi, kita jadi bertanya-tanya apa benar sudah diawasi dan diperiksa isinya?
Baca Juga : 8 Pesan Buruk untuk Anak-Anak dalam Film Kartun Favorit
Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa kali kasus buku pelajaran yang mengandung muatan tidak layak yang mencuat ke media. Padahal, buku-buku yang menjadi bahan belajar ini pasti nantinya akan dibaca dan dicerna oleh anak-anak. Kalau isinya ngawur, kan bisa bahaya? Pertanyaannya, kok bisa muatan seperti ini lolos dari pengawasan?
Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dunia pendidikan Indonesia sempat dibuat heboh oleh buku pelajaran agama Islam bagi siswa SD. Di salah satu halaman, ditulis bahwa banci boleh menjadi imam shalat yang tentu saja segera menuai kontroversi dan kritikan dari banyak pihak.
Poin yang menjelaskan tentang banci yang boleh menjadi imam ini tentu berpotensi menimbulkan kerancuan jika tidak dijelaskan apa yang dimaksud penulis dengan banci. Pasalnya, dalam Islam hanya ada dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, sehingga banci atau waria tidak boleh menjadi imam.
Jika buku tersebut ingin menjelaskan tentang khuntsa, tentu harus dibeberkan lebih jauh. Tidak hanya dengan menulis banci boleh jadi imam, karena banci atau waria dan khuntsa sangatlah berbeda. Khuntsa adalah orang yang secara fisik memiliki kelamin ganda, yakni alat kelamin pria dan wanita di tubuhnya. Karena khuntsa memang secara fisik terlahir seperti ini, maka ia masih boleh menjadi imam bagi jamaah wanita.
Pada tahun 2014 lalu, muncul pemberitaan tentang buku pendidikan jasmani untuk kelas XI yang mengajarkan tentang cara dan gaya berpacaran. Tema bab tersebut adalah “Memahami Dampak Seks Bebas”. Dijelaskan pula tentang gaya pacaran yang sehat yaitu sehat fisik, sehat emosional, sehat sosial dan sehat seksual.
Namun yang paling disorot adalah gambar ilustrasi yang dinilai tidak mengandung korelasi dengan materi yang diberikan. Gambar tersebut menunjukkan seorang laki-laki dan perempuan dengan pakaian muslim lengkap dengan peci dan jilbab lebar. Hal ini tentu saja menuai protes mengingat dalam Islam sendiri tidak ada istilah pacaran.
Mungkin materi ini dibuat karena keprihatinan terhadap tingginya seks bebas di kalangan pelajar yang tentu saja merupakan alasan yang sangat bisa dimengerti. Meski begitu, cara penyampaiannya juga harus hati-hati agar tidak menyinggung kalangan tertentu. Banyak orang khawatir permasalahan ini akan dihubung-hubungkan dengan ‘pacaran Islami’ yang tentu saja sebenarnya tidak ada.
Tahun 2012 lalu, dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan berita tentang munculnya materi LKS yang berkisah tentang istri simpanan. LKS yang ditujukan untuk kelas 2 Sekolah Dasar ini memuat cerita yang berjudul “Bang Maman dari Kali Pasir” yang memuat cerita tidak layak untuk dikonsumsi anak-anak.
Dalam cerita tersebut, Bang Maman meminta seorang wanita untuk berpura-pura menjadi istri simpanan menantunya agar anak perempuannya bercerai dari suaminya. Muatan ala-ala sinetron seperti ini tentulah tidak etis dan tidak mendidik bagi anak-anak di sekolah dasar. Masak anak kelas dua SD sudah diajari tentang istri simpanan dan taktik jahat untuk merusak hubungan rumah tangga seseorang? Hati-hati, anak-anak sangat mudah menyerap informasi apapun yang ada di sekitarnya dan belum mampu sepenuhnya memilah mana yang baik dan tidak, lho.
Di Kudus, sempat beredar LKS bahasa Jawa untuk kelas 3 SD dengan teks yang sungguh memprihatinkan. Bagaimana tidak, dalam LKS tersebut ada sebuah teks yang menceritakan tentang resep awet muda seorang kakek adalah dengan merokok, minum minuman keras dan memakai sabu atau obat-obatan terlarang.
Dalam teks yang berjudul ‘Resepe Simbah’, terdapat percakapan antara seorang pemuda dan seorang kakek. Si pemuda bertanya pada kakek tersebut tentang resep awet muda sang kakek. Si kakek menjawab, “Nyimeng (memakai sabu-sabu) dan ngombe rong gendhul (mabuk)”. Nah, apa tidak miris melihat teks seperti ini di buku pelajaran Sekolah Dasar?
Di Bogor, sempat beredar buku mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas VI SD yang mengandung konten yang tidak senonoh. Umumnya, cerita dalam buku pelajaran akan menyimpan pesan kebaikan, namun sebuah cerita berjudul “Anak Gembala dan Induk Serigala” dalam buku ini justru menceritakan tentang seorang pria yang masuk ke sebuah warung remang-remang. Yang membuat banyak pihak mengelus dada, cerita ini juga dengan jelas menuliskan kalimat-kalimat yang memang tidak layak untuk dikonsumsi anak-anak.
Beberapa kalimat yang dimaksud antara lain, “Dari tempat hina di dunia ini, warung remang-remang tempat dia menjajakan badan… Jakunnya bergerak turun naik melihat kemolekan perempuan itu. Akhirnya, terjadilah peristiwa yang merenggut kegadisannya, sekaligus menimbulkan tumbuhnya janin di perutnya … sosok jabang bayi yang meruak dari celah selangkangannya,… perempuan yang sewaktu-waktu mudah dihempas oleh jerat nafsu… “Bergairahlah lelakiku. Aku ingin sekali menyempurnakan keinginanmu.”… Mereka tenggelam dalam pelukan dan ciuman… Tangannya menggapai seakan meminta perempuan itu mendekat dan memeluk dirinya. Dan ketika perempuan itu terengkuh olehnya, pada telinganya dia berbisik lirih… Dia pun gemetar dalam pelukan lelaki itu. Seperti lampu di kamar yang berpijar, dia merasa terbakar sendirian.
Nah, dengan konten seperti itu untuk anak sekolah dasar, tentu saja membuat berbagai kalangan terkejut. Sementara itu, Dedy Tri Riyadi yang merupakan penulis asli cerpen tersebut tidak tahu bahwa karya cerpennya dicatut dalam buku pelajaran sekolah dasar. Dirinya sendiri mengaku bahwa cerita tersebut bukan konten tidak senonoh, melainkan cerita tentang seorang wanita korban perkosaan. Namun ia juga setuju bahwa cerpen yang sebenarnya ia tulis di blog pribadinya tersebut harus dicabut dari karena tidak sesuai untuk anak SD.
Kalau terjadi kesalahan sekali dua kali sih masih bisa dipahami, tapi ini sudah beberapa kali, lho. Apakah buku dan LKS yang diedarkan itu tidak melewati proses editing lebih lanjut? Seharusnya, sebelum didistribusikan, pihak-pihak terkait perlu mengkaji terlebih dahulu apakah buku tersebut aman, dalam artian tidak memuat konten-konten yang nyleneh dan tidak layak. Pengawasan memang harus ketat, mengingat buku ini memang akan digunakan sebagai bahan ajar.
Baca Juga : 10 Anak Hebat yang Berjasa Membuat Penemuan Jenius Bagi Dunia
Tidak hanya guru, orang tua juga perlu membiasakan diri untuk ikut aktif dalam pendidikan anak-anak dan ikut membaca buku pelajaran mereka. Fungsinya adalah agar orang tua juga bisa memantau apa yang diajarkan kepada anak-anak mereka dan agar anak-anak memperoleh pendidikan yang baik. Selanjutnya, semua pihak perlu belajar dari kesalahan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi.
Kasus baru, masalah lama. Begitulah kira-kira jargon yang cocok disematkan kepada Menteri Peranan Pemuda dan…
Selain susu dari sapi atau kambing, kamu mungkin sudah pernah mendengar susu dari almon atau…
Kamu pasti sudah nggak asing lagi dengan nama Labubu, atau Boneka Labubu. Jelas saja, karena…
Di dalam hutan lebat Papua, terdapat salah satu burung terbesar dan paling menakjubkan di dunia,…
Siapa yang tidak kenal Hikigaya Hachiman? Tokoh utama dari *OreGairu* ini dikenal dengan pandangan hidupnya…
Belakangan ramai perbincangan mengenai dugaan eksploitasi yang dialami mantan karyawan sebuah perusahaan animasi yang berbasis…