in

Cerita Tragis Pahlawan Indonesia yang Malah Dipenjara dan Hidup Miskin di Hari Tua

Perang kemerdekaan yang terjadi beberapa masa silam, banyak meninggalkan beragam kisah bagi para pelakunya. Salah satunya yang coba diceritakan kembali oleh Hadi Pranoto. Ia merupakan salah satu saksi hidup yang ikut berjuang dalam pergolakan revolusi Indonesia di Kota Solo dan sekitarnya.

Lahir dan besar di kota Banaran yang merupakan sebuah perkampungan di Kota Solo, Hadi muda ikut terlibat langsung dalam peperangan dengan Belanda. Ia sendiri merupakan mantan anggota Tentara Pelajar sejak 1946. Setahun setelah kemerdekaan Indonesia di proklamasikan. Kini, perang memang telah berlalu. Namun, memori di masa silam yang sempat merenggut masa kecilnya, coba diuraikan kembali oleh dirinya.

Siswa yang belajar tanpa buku dan kelas

Hadi yang kala itu masih duduk di bangku setingkat SMP, lebih banyak berada di lapangan daripada belajar di kelas. Hal ini terjadi karena ia harus ikut angkat senjata dan membantu perjuangan tentara republik di garis depan. “Kalau mau pergi sekolah, saya pamitan mau perang, bukan menuntut ilmu. Ibu sudah tahu dan selalu berdoa memohon keselamatan,” kata Hadi yang dilansir dari rappler.com.

Ilustrasi tentara pelajar [sumber gambar]
Bertugas sebagai prajurit dalam Detasemen II Brigade 17 Tentara Pelajar, Hadi berada di bawah pimpinan Mayor Achmadi. Dalam sebuah peperangan selama empat hari empat malam, pasukannya berhasil merebut Kota Solo dari tangan Belanda. Pada saat bertugas di wilayah Karanganyar, Hadi muda sempat berkenalan dengan berteman dengan Soeharto yang masih berpangkat Letkol.

Tentara cilik yang berjuang dengan senjata seadanya

Di usianya yang masih belia, Hadi harus menahan keinginannya bermain seperti anak seusia dirinya. Demi kemerdekaan, ia diharuskan ikut berperang dengan kondisi yang serba terbatas. Berbekal 7 pucuk senapan laras panjang, revolver, dan granat, Hadi dan kelompoknya yang berjumlah sekitar 10 hingga 20 orang, bergantian menggunakannya. Kelak, misinya itu dikenal dengan serangan umum 4 hari.

Ilustrasi kumpulan para tentara pelajar [sumber gambar]
Peperangan pun usai setelah Belanda mengakui kedaulatan RI pada konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Hadi pun lebih memilih berkarir sebagai Tentara dibanding melanjutkan sekolahnya. Sejak 1950, ia menjadi anggota Batalyon 609 Angkatan Darat dan ditugaskan di Banjarmasin hingga berpangkat Letnan Dua. Namun pada 1954, Hadi akhirnya keluar dari militer dan memilih tugas sipil sebagai kepala penilik di Lapas Banjarmasin.

Terkena fitnah sebagai komunis dan terkena hukuman penjara

Tahun 1960, menjadi awal kelabu bagi Hadi. Kepindahannya ke Surakarta sebagai Kepala Bagian Reclasseering, rupanya tidak disukai oleh pegawai di instansi barunya tersebut. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menjatuhkan Hadi. Hingga pada puncaknya, ia difitnah sebagai simpatisan Komunis PKI.

Ilustrasi penangkapan simpatisan PKI [sumber gambar]
Saya difitnah, dilaporkan, dan dituduh komunis pada saat pecah Gestok,” kata Hadi.

Alhasil, dirinya pun diciduk tentara saat tengah berdinas di kantornya. Saat berada di dalam penjara. Sang istri pun sempat menjenguknya di penjara, sembari membawa lencana bintang sebagai bukti bahwa sang suami adalah veteran pejuang yang pernah berdinas di satuan AD. Namun sayang, respon yang ia terima sungguh di luar dugaan.

Seorang tentara malah menginjak-injak bintang saya dengan kakinya sambil berujar bahwa tidak mungkin komunis ikut berjuang,” kata Hadi.

Kisah getir selama menjadi tahanan

Pada akhir 1965, Hadi dipindahkan ke Rutan Nusakambangan bersama dengan mereka yang dicuriga sebagai kaki tangan komunis. Selain dirinya yang pegawai negeri, para tahan politik (tapol) tersebut merupakan guru, tentara, pegawai, mahasiswa, petani, pedagang, hingga seniman. Kehidupan penjara yang suram pun menghantuinya saban hari.

Ilustrasi tahanan tertuduh komunis bercocok tanam [sumber gambar]
Mulai jatah beras sebanyak 6 gram tiap hari hingga mengkonsumsi ikan busuk, menjadi konsumsi rutinnya sehari-hari. Tak jarang, banyak tahanan yang meninggal karena kelaparan. Hadi sendiri tergolong cukup “beruntung” saat berada di sana. Karena memiliki latar belakang admisnistrasi, ia sering dipekerjakan sebagai tukang ketik hingga mendistribusikan makanan untuk napi. Sebagian memilih bercocok tanam dan berkebun untuk mendapatkan jatah pangan yang lebih baik.

Pesakitan di zama orba, terlunta-lunta di hari tua

Meski tak mengalami nasib buruk seperti tahanan lainnya, hati kecilnya tetap berontak. Ia merasa haknya telah dirampas secara sepihak. Padahal, Hadi tak pernah sekalipun ikut dan tahu menahu tentang aktivitas PKI di Indonesia. Sebagai tapol, ia kerap dimobiliasi oleh rezim Orde Baru untuk mencoblos Golkar. Pada KTP-nya pun, label ET (eks tapol) disematkan hingga dihapus pada tahun 2000-an. Saat reformasi menumbangkan Soeharto dan Orde Baru.

Terlunta-lunta di hari tua [sumber gambar]
Saat bebas pada 1980, Hadi pun harus menerima kenyataan pahit lainnya. Ia kesulitan mendapat pekerjaan karena dianggap sebagai eks tapol pemerintah. Soeharto yang pernah jadi sahabatnya semasa perang, hanya bisa membuat nasibnya terkatung-katung di kemudian hari. Sejak 1986 hingga kini, Hadi mencari nafkah dengan memulung sampah di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Banaran. Ia juga bekerja sebagai penjaga dan tukang bersih-bersih di toilet umum pemakaman di dekat rumahnya.

Miris. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi kakek Hadi di atas. Hanya karena sebuah tuduhan tanpa bukti, kisah perjuangannya hingga Indonesia merdeka seolah lenyap tak berbekas di mata aparat Orde Baru. Sungguh, cerita di atas membuktikan kebenaran sebuah pepatah klasik “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan“. Astaghfirullah.

Written by Dany

Menyukai dunia teknologi dan fenomena kultur digital pada masyarakat modern. Seorang SEO enthusiast, mendalami dunia blogging dan digital marketing. Hobi di bidang desain grafis dan membaca buku.

Leave a Reply

ZKZM-500, Senjata Laser Buatan Tiongkok yang Bikin Rakyat Kapok Demonstrasi di Jalanan

Anti Mainstream, Dian Sastrowardoyo Bukan Bentuk Geng Arisan tapi Teman untuk Olahraga Bareng