Selama ini, sejarah selalu ditulis oleh para pemenang yang terlibat di dalamnya. Sama dengan kisah tragis yang dialami oleh Mayjen Hartono. Hampir tak ada yang mengenal sosoknya di bangku sekolah dasar, menengah hingga atas. Catatan buram yang disematkan kepada dirinya, membuat perwira dari satuan KKO TNI-AL (sekarang Marinir) ini, menghilang dari peradaban sejarah.
Dikenal sangat dekat dan loyal dengan pemerintahan Soekarno, Mayjen Hartono harus berakhir tragis di tangan kekuasaan Orde Baru. Hingga kini, kematiannya masih terkesan misterius dan belum terpecahkan. Gejolak politik yang ada pada saat itu, menjadi babak awal dan akhir bagi perjalanan cerita sang Jenderal.
Hantu laut legendaris para KKO TNI-AL
Pria kelahiran Solo, Kota Surakarta, Jawa Tengah pada 10 Januari 1927 itu, memiliki rekam jejak pertempuran yang melambungkan karirnya di militer. Dilansir dari tirto.id, Hartono berjuang melawan Belanda pada masa revolusi. Ia juga turut ambil bagian pada penumpasan G30S/PKI, DI/TII Jawa Barat, DI/TII Aceh hingga PRRI/Permesta. Ia pun dianugerahi Satyalencana GOM I, GOM V, dan GOM VII.
Dikenal loyalis sejati Bung Karno
Pada masa pergolakan politik di Indonesia, banyak pihak yang ingin merongrong pemerintahan Soekarno. Oleh karenanya, Presiden pertama RI tersebut meminta pertolongan kepada satuan KKO yang dipimpin oleh Hartono. Bahkan saking dekatnya, korps yang kini menjadi satuan Marinir itu dibekali sederet alutsista seperti kendaraan pendarat lapis baja dan senapan serbu AK-47 buatan Negara-negara Blok Timur. Salah satu ucapan Hartono yang terkenal adalah
“Pejah gesang melu (hidup mati ikut) Bung Karno. Putih kata Bung Karno, Putih kata KKO. Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO“.
Menjadi lawan Soeharto di masa-masa runtuhnya PKI
Gerakan komunis di Indonesia banyak meninggalkan cerita miris. Salah satunya yang dialami oleh Mayjen Hartono. Saat itu, Soeharto tampil trengginas dengan menyingkirkan semua yang dianggap sebagai Soekarnois atau loyalis Soekarno. Tak tinggal diam, Hartono pun meminta izin pada Bung besar untuk melawan Soeharto yang dinilai sembarangan. Hal ini terjadi karena perwira AD itu tak segan menangkap, memenjarakan bahkan menghukum mati mereka tanpa melalui proses peradilan. Semua serba pukul rata.
Diasingkan dengan dalih jabatan sebagai Duta Besar Korea Utara
Saat Soeharto naik tahta menjadi Presiden pada 1968, ia melihat bahwa keberadaan Hartono bisa menjadi batu sandungan bagi pemerintahan Orde Baru. Sebagai siasat, ia pun ditunjuk menjadi Dubes Korea Utara 8 November 1968. Indikasi ini pun dicium oleh Hartono sebagai bentuk penghancuran kepemimpinan dirinya pada KKO secara halus. Tak lama kemdian, ia dipanggil pulang ke Indonesia.
Kematian Hartono yang misterius hingga kini
Pemulangan dirinya berkaitan dengan pertemuan para duta besar Indonesia se-Asia Pasifik di Tokyo. Namun sayang, ajal keburu menutup umur Hartono. Ia ditemukan kaku tak bernyawa dengan bekas tembakan di kepala. Di samping jasadnya, ditemukan pula pistol berjenis Makarov dengan berperedam suara. Versi pemerintahan Orba,Hartono tewas bunuh diri. Hal tersebut bahkan disangsikan kebenarannya oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Letjen KKO (Purn) Ali Sadikin dan mantan Wakasal Laksamana Madya Rachmat Sumengkar.
“Saya temukan Hartono terduduk di kursi dengan darah membasahi bagian belakang kepala. Di sampingnya kaca jendela pecah berantakan kena tembakan…”demikian pengakuan Nyonya Prawirosoetarto seperti ditulis Julius Pour dalam G30S, Fakta atau Rekayasa.
Miris memang. Hanya karena perebutan kekuasaan berlatar politik, Mayjen Hartono harus meregang nyawa secara misterius. Kasus kematiannya saat ini pun masih belum terpecahkan secara jelas. Apakah Soeharto dan Orde Barunya terlibat? Entahlah. Hanya Tuhan Maha Adil yang kelak akan mengungkap siapa dalang sesungguhnya di balik peristiwa itu.