Tak ada yang menyangka jika operasi pembebasan sandera di Mapenduma Papua, menyimpan sebuah catatan kelam dalam sejarah militer Indonesia. Meski tugas di garis depan berhasil dilaksanakan oleh satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), toh salah satu anggotanya yang bernama Sanurip justru berbuat sebaliknya.
Aksinya inilah yang membuat namanya dikenang sebagai sosok prajurit yang tega ‘mengambil’ nyawa rekannya sendiri dan warga sipil tak berdosa. Kejadian di pagi hari itu, dimulai oleh Sanurip yang memulai aktivitasnya di sekitar landasan udara Mozes Kilangin, Timika pada 15 April 1996. Tak ada yang aneh pada saat itu.
Dalam beberapa saat, suasana pagi itu berubah mencekam saat Sanurip dengan membabi buta menembakkan senapan serbu miliknya kepada siapa pun yang ia temui di sana. Bahkan, rekan-rekannya sesama baret merah pun tak lepas dari incarannya. Terlebih, Sanurip dikenal sebagai prajurit yang dikenal spesialis penembak jitu atau sniper. Pada 1996, ia sudah menyandang sebagai pelatih tembak tempur dengan pangkat Letnan.
Korban pun mulai berjatuhan satu persatu di tangan perwira dari satuan Batalyon 12 Grup 1 Para Komando (Parako) dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus), di Serang, Banten tersebut . Dikisahkan oleh Brigadir Jenderal Amir Syarifudin, Kepala Pusat Penerangan ABRI, Sanurip pagi itu ditegur karena berisik. Namun, ia tak terima.
“Setelah menembaki rekan-rekanya, dia berlari keluar dari hanggar dan menembaki siapa saja yang ada di situ,” kata Amir, dikutip Kompas (16/04/1996). Kenneth J Conboy, dalam Elite: The Special Forces of Indonesia, 1950-2008 (2008:44), yang dilansir dari Tirto.id (04/12/2018) menjelaskan, Sanurip memuntahkan sebanyak 52 butir peluru pada para korbannya. Tercatat, 16 orang meregang nyawa di tangannya.
Spekulasi pun mulai bermunculan di kalangan para Jenderal atas insiden tersebut. Gejala malaria yang merusak sistem saraf, dianggap oleh para petinggi ABRI sebagai penyebabnya. Di mana Sanurip mengalami gangguan kejiwaan yang kemudian mempengaruhi tindakannya sehingga berbuat nekat di lapangan.
Namun di sisi lain, mantan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI, Letnan Jenderal Soeyono dalam biografinya, Bukan Puntung Rokok, karya Benny S. Butarbutar mengatakan bahwa Sanurip mengalami tekanan psikis yang kemudian berujung pada tindakan koboy-nya di lapangan. “Karena stres dan kecewa tidak diikutkan dalam beberapa gerakan operasi, pada suatu subuh dia nekat menembaki siapa saja yang dilihatnya di kawasan landasan lapangan terbang Timika,” ujar Soeyono yangg dilansir dari Historia.id.
Para korbannya yang berjumlah 16 orang, terdiri dari 11 anggota ABRI (kini TNI), yakni Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Anti Teror (Gultor), Letnan Kolonel Infanteri Adel Gustimigo, Mayor Gunawan dan Kapten Djatmiko. Korban lainnya sebanyak 5 orang adalah warga sipil. Beberapa nama perwira di atas, dikenal memiliki karir yang bagus dan tengah naik daun pada saat itu.
Tak lama, Sanurip pun dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Sayang, hal tersebut tak berjalan lancar lantaran Kopassus terkesan menutup-nutupi kasus yang tengah terjadi. Alhasil, Tim dari Pusat Polisi Militer (Puspom) ABRI pun kesulitan dalam melakukan pemeriksaan. Anehnya, lagi mereka yang berwenang dalam pemeriksaan dilarang masuk ke ksatrian Kopassus.
BACA JUGA: Kolonel Infanteri Agus Hernoto, Sang Legenda Kopasus yang Tak Gentar Meski Disiksa Musuh
Proses pemeriksaan pun tak berjalan maksimal. Ditambah Soeyono yang dinonaktifkan dari dinas, membuat dirinya tak lagi bisa menyelidiki kasus Sanurip. Tak lama, dirinya pun mengetahui kabar bahwa Sanurip meregang nyawa di dalam selnya. “Yang saya dengar karena bunuh diri di selnya,” ucap Soeyono.