Untuk memperingati hari perempuan internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret kemarin, mari kita mengenang salah satu perempuan yang pernah terekam dalam sejarah awal berdirinya Republik Indonesia. Perempuan itu bernama Rachmi Hatta. Beliau tak lain dan tak bukan adalah istri dari salah satu bapak proklamator kita, Moch. Hatta.
Kisah kehidupan beliau memang tak banyak disorot wartawan pada saat itu. Namun, dari segelintir kisah yang terangkum, ada banyak pelajaran hidup yang bisa kita petik dari perjuangannya yang begitu berdedikasi pada suami dan ketiga anak perempuan mereka.
Sedikit intro mengenai ibu Rachmi
Sebelum menyandang nama suaminya, ia bernama asli Rachmi Rachim. Bu Rachmi lahir pada tahun 1926. Tak banyak yang membahas seperti apa kehidupan beliau di masa kanak-kanaknya.
Satu hal yang pasti, ia menjadi wanita yang beruntung karena diperistri oleh bung Hatta. Kecantikan dan keanggunan beliau diyakini telah membuat sang proklamtor kita jatuh hati pada pandangan pertama. Tak seperti Bung Karno, Bung Hatta semasa hidupnya hanya punya satu istri, dialah ibu Rachmi.
Kisah romantis tempo doeloe
Bahkan, awal kisah cinta bu Rachmi dengan pak Hatta ternyata sangat menarik. Romantis elegan. Jauh bila dibandingkan dengan kisah cinta sinetron zaman sekarang yang menye-menye itu.
Setelah negeri kita merdeka, bung Hatta langsung mengutarakan keinginannya untuk menikah. Beliau memang sudah berkomitmen untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri kita terlebih dahulu sebelum mempersunting seorang gadis dan hidup berumah tangga.
Padahal, sebelum beliau menyandang gelar proklamator pun sudah banyak gadis yang terpikat padanya. Mereka terbius oleh kecerdasan dan kesantunan beliau yang begitu luhur.
Lewat bantuan teman sejatinya yang tak lain adalah Soekarno, Hatta menceritakan keinginannya untuk melamar seorang gadis yang masih sangat muda, 19 tahun, yang pernah ia temui ketika berkunjung ke institut Pasteur. Gadis yang belum pernah ia ajak berbicara, apalagi berkenalan.
Bung Karno yang tak mau sobatnya lebih lama lagi melajang, langsung gerak cepat mencari informasi soal gadis tersebut. Setelah mengetahuinya, ia langsung bergegas pergi ke rumah perempuan tersebut bersama R. Soeharto. Maka diceritakanlah kepada Rachmi dan keluarganya seperti apa impresi pak Hatta terhadap kecantikan bu Rachmi.
Kedua pasangan sehidup semati itu menikah pada tanggal 18 November 1945. Mereka mengucap janji suci di sebuah villa di Megamendung, Bogor. Yang unik adalah mas kawinnya yang berupa buku karangannya yang ditulis ketika tengah diasingkan ke Boven Digul.
Berjoeang dalam soeka dan doeka
Meski usia mereka berselisih 24 tahun, namun mahligai rumah tangga mereka jalani dengan baik. Terjangan badai yang silih berganti tak mampu goyahkan bahtera perkawinan mereka. Mereka dikaruniai tiga anak perempuan.
Bung Hatta dikenal akan pribadi yang sederhana, bersih dan luar biasa jujur. Sifat-sifat tersebut didukung penuh oleh sang pujaan hati.
Cerita yang paling menyesakkan sekaligus mengharukan adalah ketika bu Rachmi, yang biasa dipanggil Yoeke oleh pak Hatta, menabung sejak lama demi membeli sebuah mesin jahit. Padahal, dengan posisi suaminya saat itu, Bu Rachmi bisa saja mengajukan permintaan untuk dibelikan mesin jahit terbaru.
Masalah semakin pelik ketika keinginannya untuk mendapatkan mesin jahit harus diurungkan karena uang tabungan yang telah lama ia sisihkan digunakan untuk keperluan lain yang lebih mendesak. Alih-alih memarahi suaminya, bu Rachmi justru menerima keadaan dengan lapang dada. Ia memang sosok perempuan yang patuh pada suaminya dan menjadi teladan bagi ketiga anaknya.
Setia hingga akhir hayat
Kesetiaan bu Rachmi diuji ketika suaminya memutuskan mundur dari kursi wakil presiden. Hal itu tentu saja semakin membuat perekonomian keluarganya lebih sulit. Namun, ia justru bersyukur pada prinsip yang dipegang suaminya yang tak pernah mengambil miliknya bahkan hingga mundur dari pemerintahan.
Hingga ajal yang menemui pak Hatta pada tanggal 14 Maret 1980 harus memishkan mereka. Usia perkawinan ibu Rachmi dengan bapak Hatta berlangsung selama 35 tahun. Usia yang singkat, namun sarat akan moral kehidupan. Bu Rachmi tak pernah menikahi pria lain lagi dan hanya mencurahkan sisa hidupnya untuk membimbing dan mendidik ketiga anak perempuan buah perkawinannya dengan sang bapak proklamator.
Itulah sekelumit kisah mengharukan dari salah seorang ibu negara kita. Lika-liku kisahnya yang singkat, penuh dengan getir kehidupan. Namun, dibalik itu semua kita bisa mengambil hikmah bahwa sehebat apapun seorang pria, tiada ada artinya jika tak mendapat dukungan penuh dari wanita yang mendampinginya.